Lihat ke Halaman Asli

Ambiguitas Perppu Pilkada

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Uji publik calon kepala daerah dengan uji publik yang bisa mencegah adanya calon yang buruk dan kapasitas rendah. Namun, uji publik ini tidak menggugurkan hak seseorang untuk maju sebagai gubernur, bupati, dan wali kota. Demikian ketentuan nomer (1)  Perppu No.2 /2014 seperti disiarkan kompas.com.

Ketentuan PERPPU ini mendua atau ambigu, karena pada satu sisi mewajibkan seleksi terhadap figure yang akan maju pilkada. Hasil uji public dimaksudkan untuk mendapatkan yang terbaik, bukan calon yang buruk yang berkualitas rendah. Namun prasyarat nomer satu ini pada sisi lain, bahwa uji public tidak berhak menggugurkan figure yang akan maju pilkada. Artinya jika da 10 pasangan figure maka hasil uji public tidak boleh mengurangi jumlah tersebut.

Bagaimana mungkin prasyarat ini bisa dilaksanakan.  Ada alternative yaitu hasil uji public akan berupa peringkat atau ranking antara 1 sampai dengan 10. Apakah peringkat atau ranking itu nantinya semuanya adalah orang yang terbaik begitu saja yang direkomendasikan team penilai atau penguji? Nampaknya butuh kajian mendalam. Namun yang pasti atau tegasnya, beberapa warga negara (team atau panel atau apalah namanya ) yang berstatus sebagai penguji menentukan nasib hak politik warga lainnya sebagai objek yang diuji public. Apakah system ini sesuai dengan azas prinsip demokrasi? Entahlah silahkan ambil kesimpulan sendiri.

Tapi kalau menurut saya, Istilahnya saja "Uji Publik" tentu hasilnya harus diumumkan kepada publik. Ketika warga negara yang diuji publik oleh seorang warga negara dan atau beberapa orang warga negara lainnya ( team pakar penguji ) maka dipastikan hasil yang diumumkan team pakar akan sangat berpengaruh terhadap elektabilitas warga yang diuji. Bahkan cenderung menjadi wacana pembunuhan karakter.

Disamping itu secara konstitusional "team pakar atau team penguji" tidak punya hak bertindak atas nama rakyat. Hanya institusi negara yang dipilih melalui pemilu yang punya hak uji publik, dalam hal ini team pengujinya adalah para anggota DPRD itu sendiri, karena mereka dipilih dan diberi mandat oleh rakyat melalui pemilu.

Jika uji publik tidak menggugurkan calon, mungkin bentuknya "ranking" merujuk kualitas. Jika bakal calon hanya ada dua saja maka hasil uji publik menunjukan ranking nomer satu adalah yang terbaik. Tetapi jika bakal calon yang diuji publik ada lima atau 10, ranking dari 1 sampai 5.-10 Artinya nomer satu adalah yang terbaik sedang nomer 5 adalah figur yang terburuk atau ranking 10 apa sajalah istilahnya tetap melekat stigma buruk.

Dengan cara ini figur peringkat 5 -10 tersandra elektabilitasnya oleh hasil kerja warga negara lainnya ( team penguji).Jadi syarat nomer 1 ini, antara kalimat pertama dengan kalimat kedua ( Namun…..... dstnya,) logikanya saling bertabrakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline