Lihat ke Halaman Asli

Bau Yang Memanggilku

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Akhirnya aku tiba di kota kecil ini. Setelah sepekan lalu, bau kota ini, bau tanah liat kering berkerikil terendus hidungku. Dikirim oleh angin laut basah ke kota rantauku yang basah bergunung, di lain pulau.

Kota kecil ini kukenal setiap jengkalnya. Terutama bagian pasar. Tempatku biasa berjalan berpejam tanpa tersesat.

Ojek mengantarku sampai ke gedung bekas bioskop yang dulu sambil berpejam bisa kutahu dari campuran bau pesing, debu, dan kepinding yang terhembus dari lubang angin.

“Ambil saja!” jawabku atas selembar uang seribu rupiah yang diulurkan sebagai kembalian. Setelah menerima sepotong senyum tukang ojek aku mengiliri kota. Di masa kecil aku biasa berjalan berpejam dan meraba kota dengan penciuman.Tapi kali ini aku tak penuh pejam. Sebab siapa tau berpapasan dengan orang-orang yang kukenal.

Bau pertama yang kucium adalah racikan hawa panas oven, aroma kismis gosong, bau ragi roti, bahkan bau tipis pisau pemotong roti. Toko Roti Baba Hong baru saja kulewati.

Lalu bau terpentin, bau asli aneka kayu yang disamarkan pelitur dan pernis. Samar-samar bau rotan. Bau cat basah. Bau ini cukup panjang. Aku sedang lewati tiga toko perabot.

Saat seorang menyapaku dari jauh, dan aku balas dengan lambaian tangan, hidungku dihinggapi bau aneka kain. Yup setiap kain punya bau sendiri. Kain dari kapas, bulu domba, atau serat sintetis punya bau sendiri-sendiri. Bahkan bau hangat karpet Persia.

Aku melintasi toko buku. Bau buku-buku tak laku saling tumpuk dengan debu, bau karbon dan kayu pada pensil. Yang kuat menampal lubang hidung adalah bau panas mesin fotokopi, bau kertas yang melenting terkena panas, bau tinta yang baru lekat di kertas.

Rasa lapar mengajakku berbelok, ke lorong kecil. Aku mengejar bau pangsit goreng, dan kaldu lemak yang mengental di sepanjang lorong kecil. Aku berharap mencampur-campur bau asam cuka, bau hambar terigu, rempah-rempah pemedas , dan bau lemak pada minyak panas dan anyir daging.

“Enam puluh langkah lagi,” bisikku dalam hati, “sampailah.” Aku memejam penuh, sebab di hingga jauh ke ujung lorong, kulihat tak ada orang dan tak ada penghalang.

Pada langkah ke-25, kucium bau yang asing. Campuran anyir rumah jagal dan aroma kering penjara kota kami yang 5 dari 10 penghuninya dihukum karena kasus pembunuhan. Bau itu seolah memanggilku untuk terus berpejam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline