Lihat ke Halaman Asli

Pekarangan, CSA, dan Harga Pangan Stabil

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

140549853235855104

[caption id="attachment_315658" align="alignright" width="300" caption="tanam cabe dalam pot (alamtani.com)"][/caption]

Malam di selat Sunda. Bulan bergerak menuju mati. Sebuah kapal Ferry terombang-ambing ke arah Barat. Beberapa penumpang bercakap-cakap mengisi waktu.

“Harga cabe sedang pedas-pedasnya!” cerita seorang penumpang. Lelaki 40-an tahun. “Kasih istri duit lima ribu perak, dibikin sambal, mana pedes.”

Dia bercerita kepada saya. Saat itu suasana jelang lebaran. Kami lalu bercakap banyak hal tentang komoditas pangan yang harganya membengkak setiap kali datang bulan Ramadhan dan hari lebaran Idul Fitri.

Dalam daftar sembilan bahan pokok (sembako), cabe hanya salah satu komponen dari kelompok sayur-sayuran dan buah-buahan. Ditinjau dari komoditas pangan, cabe merupakan salah satu dari aneka bumbu. Meski demikian, dalam budaya kuliner nusantara, cabe mendapat kedudukan penting. Pemedas utama bagi aneka masakan, terutama sambal. Setiap kali cabe mengalami kenaikan harga, pengaruhnya terbilang besar. Apalagi bila harganya melonjak ekstrim seperti saat itu. Mencapai sekitar Rp 80.000 per kilogram.

Bank Indonesia mencatat, aneka bumbu (dimana cabe termasuk di dalamnya), beras, dan daging adalah tiga komoditas pangan yang menyumbang inflasi pada periode Ramadhan dan Idul Fitri tiga tahun terakhir. Cenderung mengalami peningkatan harga secara umum dan terus menerus.

Saya tak banyak paham kenapa harga produk pertanian ini bisa melonjak di saat-saat seperti itu. Sekalipun, sebagai petani semestinya saya bersyukur jika harga komoditas pertanian mengalami kenaikan. Apalagi bila mengingat pengalaman saya beberapa kali menanam cabe dalam jumlah banyak. Saban panen, harga cabe sedang anjlok. Sekitar 3000 rupiah per kilogram. Jangan bicara untung. Balik modal saja berat.

Berdasarkan pantauan sejumlah media, harga cabe keriting pada Ramadhan kali ini, tahun 1435 H atau 2014, relatif normal dan seharusnya tetap menguntungkan bagi petani. Berkisar Rp 20.000 – 25.000,- Tapi belum sebulan lalu, beberapa petani dan pekebun cabe di desa tempat saya berkebun, mengeluh tak balik modal. Sebab, harga jual cabe di tingkat petani sekitar Rp 3.000. Sedang biaya yang dikeluarkan untuk sebatang pohon cabe sudah sekitar Rp 3.000. Belum termasuk upah petik. Sementara hasil panen yang didapat rerata hanya 0,6 kg cabe per pohon.

Kenaikan harga di pasaran tidak selalu berkait dengan keuntungan bagi petani cabe. Saat harga cabe anjlok, sudah pasti yang dirugikan adalah petani. Tetapi harga murah hanya di tingkat petani ke pedagang, sedangkan di tingkat pedagang ke konsumen harga bisa naik 3-4 kali lipat. Yang menikmati adalah pihak perantara antara produsen (petani) dan konsumen. Dalam sebuah berita, Menteri Pertanian Suswono mengungkapkan hal senada. “Petani menangis, di petani Rp 5 ribuan tapi di pedagang Rp 25 ribuan,” ujarnya.

Dengan situasi seperti ini, bila harga komoditas pangan naik maka beban yang dirasakan konsumen makin berat, sementara petani belum tentu untung. Jika pun sesekali petani menjual hasil panen dengan harga tinggi pun, bisa diartikan sekadar menggantikan kerugian yang mereka alami berkali-kali.

Untuk itu perlu sebuah terobosan dalam menyiasati kenaikan harga bahan pangan yang dapat menyumbang terjadinya inflasi. Setidaknya terobosan dalam sektor produksi bahan pangan. Terobosan ini dapat dilakukan di tingkat rumah tangga, kelompok konsumen dan petani, dan terutama negara melalui Bank Indonesia bersama Pemerintah (TPID).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline