Lihat ke Halaman Asli

Anak Rantau

Diperbarui: 26 Januari 2023   16:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

ANAK RANTAU

Alam terkembang jadi guru

 Menceritakan tentang Hepi, Perantau bujang yang menyalakan dendam di tepi danau. Hepi seorang anak yang di besarkan hanya oleh seorang bapak tanpa pernah merasakan kasih sayang seorang ibu.

Bermula dari Hepi tidak mengisi sama sekali lembar jawaban ujiannya. Kosong, Bagaimana mungkin anak cerdas ini tidak naik kelas dan diusir dari sekolah?                     

Martiaz masih duduk termenung di kursi rotan berlumut di depan percetakan kecilnya. Deru mesin cetak terdengar sayup dari ruang dalam. Hari sudah menjelang subuh, Matanya sudah kuyu, tapi keputusannya kini sudah bulat. Sepanjang Hidupnya, Hepi tidak pernah pulang karena ayahnya tidak pernah mau  pulang kampung.

Bapak dan anak ini mendarat di padang lalu menumpang bus menuju kampung halaman di tepi Danau Talago. Martiaz bangga bisa mengenalkan suasana kampung pada anaknya. Dia melihat peluang yang pas memasukan nasihat turun temurun itu," alam semesta ini penuh kejutan. Coba kau amati dan renungkan. Ambil pelajaran dari semuanya. Itulah yang disebut orang orang tua kita di Minang, alam takambang jadi guru. Alam terkembang jadikan guru."

Di kepala Martiaz terngiang lagi nasihat yang sama dari ayahnya semasa kecil dulu. Unsur alam yang dipilihnya sebagai guru antara lain adalah kehidupan elang, yang mengajarkan untuk terbang tinggi kemana saja, melintas batas, untuk mencari hidup. Kalimat Bung Karno yang suka di baca di sebuah buku membuat dia bertambah suka dengan burung ini," Bebek jalan berbondong - bondong,elang terbang sendirian."

Sebetulnya, Hepi senang dengan rumah kakeknya. Terutama pemadangan dari jendela kamarnya,sebentang air Danau Talago yang biru tenang di latarbelakangi bukit hijau berbaris-baris. Di kala pagi, ada kabut putih mengapung di atas air. Di kala sore, air danau berubah menjadi merah oranye disiram sinar terkahir matahari sebelum karam di barat.

Puncak konflik, bermula dari pulang kampung kali ini ternyata bukan hadiah. Ini hukuman tunai untuk rapor kosong melompongnya. Dengan ransel di punggung dan topi merah bertengger di kepala, Hepi menyeret koper mengkuti ayahnya yang berjalan sambil memijit-mijit keningnya yang berkerenyit dan berkeringat.

Hepi terdiam sebentar tapi keingian pulang ke Jakarta lebih mengusainya. Dia berteriak protes dan berlari sekencang-kencangnya mengejar bus sambil menyeret kopernya yang terpantul-pantul di jalan yang tidak rata. Dia menekuk badan bagai rukuk karena kerabisan napas tangan yang lemas. Di belakangnya, koper rengkah terbelah dan bajunya centang- perenang di aspal

Dia bertekad akan membuktikan ke ayahnya bahwa dia bisa mencari uang untuk membeli tiket ke Jakarta. Saat itu juga Hepi merangkak merata untuk membeli tiket ke Jakarta dia akan membanting tulang untuk mencarinya mulai jadi asisten bang Lenon dan lapau kopi Mak Tuo Ros sehabis pulang sekolah

Pertualangan Hepi yang di temani kedua temannya Zen dan Attar pun di mulai dari program Berdirinya Surau Kami. yang di dirikan olah Datuk Marajo Labiah, kakek Hepi. Di sana mereka di bekali Pendidikan agama,Karakter, adat - isitiadat, dan juga silat. Bagi Hepi, silat bukan pengisi waktu senggang belaka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline