Ketika senja menyapa di ufuk barat, masyarakat Indonesia seringkali memandang ke depan dengan harapan besar akan adanya perubahan yang membawa kehidupan yang lebih baik.
Pertanyaan kapan, bagaimana, dan di tangan siapa perubahan itu akan terjadi, sebagian jawabannya tertanam dalam hasil Pilpres yang menjadi sumber harap bagi banyak orang.
Pemilihan presiden (Pilpres) seharusnya menjadi tonggak awal bagi kehidupan politik yang baru, di mana pemimpin dipilih dengan suara rakyat untuk membawa perubahan positif.
Namun, seringkali harapan tersebut bertabrakan dengan kenyataan, seperti yang diungkapkan dalam pepatah, "Tak selamanya harapan bertemu kenyataan."
Beberapa terpilih untuk memimpin justru terjerat dalam sistem yang telah menyakitkan masyarakat selama ini.
Mereka yang diamanahkan untuk membawa perubahan positif justru menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, melupakan janji-janji kampanye yang mereka ucapkan dengan lantang.
Lebih ironis lagi, ada yang berani mengembalikan modal politiknya dengan cara yang tidak etis. Lima tahun kepemimpinan dijadikan periode untuk mengembalikan "investasi" politik, bahkan sering kali berujung pada penangkapan oleh lembaga antikorupsi.
Pilpres seharusnya membuka pintu bagi pemimpin baru yang bersih dan berkomitmen pada kesejahteraan rakyat.
Namun, kenyataannya, pintu tersebut sering kali menjadi jalan bagi mereka yang ingin memperkaya diri sendiri.