Lihat ke Halaman Asli

Sukarja

Pemulung Kata

Adagium "Politik Kotor" dalam Kudeta Partai Demokrat, Masihkah Relevan?

Diperbarui: 29 Maret 2021   20:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Foto SBY, Moeldoko, dan AHY/rekaan Sukarja/sumber foto: Fajar.co.id, CNNIndonesia.com, BeritaSatu.com 

Adanya istilah 'Politik itu Kotor' di ranah rakyat kebanyakan memang merupakan sesuatu yang tak bisa dihindari. Terlebih lagi, praktik ini dipertontonkan secara terbuka oleh tokoh publik yang sepantasnya jadi anutan. Salah satu kasus yang saat ini ramai diperbincangkan, yaitu aksi perebutan kursi Ketua Umum Partai Demokrat, dari Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ke Jenderal (Purn.) TNI Moeldoko.

Melalui ajang Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatera Utara, Moeldoko yang bukan kader Demokrat itu tiba-tiba bisa duduk di pucuk pimpinan tertinggi partai berlambang mercy besutan mantan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Di mata awam, tentu saja bukan hal yang sulit, seorang berpangkat jenderal bintang empat yang sudah pensiunan ini untuk mendongkel posisi juniornya yang hanya berpangkat mayor. Namun, sekali lagi, apa yang dilakukan Moeldoko ini tidak begitu saja bisa diterima publik, lantaran KLB tersebut dianggap tidak sah, karena tidak sesuai dengan AD/ART partai yang mengacu pada UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

AHY dan kader Partai Demokrat/Foto: Ari Saputra, Detik.com

Apa yang terjadi di tubuh Demokrat sebenarnya bukan cerita baru dalam khazanah perpolitikan di Tanah Air. Setidaknya, selama era Reformasi seperti yang dikutip Detik.com (08/3/2021), beberapa partai, seperti Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan juga Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengalami masalah yang hampir sama. Namun, apa yang terjadi di Partai Demokrat saat ini bisa dikatakan begitu memperihatinkan. Alasannya, karena Moeldoko bukanlah kader dan anggota Partai Demokrat.

Apakah karena posisi Moeldoko saat ini sebagai Kepala Staf Presiden (KSP), sehingga upaya para pengusung KLB Deli Serdang akan berjalan mulus?

Sepertinya tidak semudah itu. Menurut penulis, Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentu saja tidak mau meninggalkan legacy yang buruk dalam persoalan politik kepartaian.

Apabila Pemerintahan Jokowi akhirnya mensahkan kepengurusan Demokrat Moeldoko, bisa jadi di kemudian hari nama Jokowi selalu dibawa-bawa dan dianggap sebagai biang keladi pecahnya partai, seperti yang terjadi saat Pemerintah lebih memilih PKB kubu Muhaimin Iskandar ketimbang PKB Gus Dur. Padahal, dalam kasus internal partai, Presiden memang sama sekali  tidak dibenarkan untuk  melakukan intervensi dalam bentuk apa pun.

Cara Berpolitik Moeldoko yang Tidak Beretika

Masalah yang paling mendasar dalam kisruh di Partai Demokrat ada pada Moeldoko, yang dianggap tidak memiliki etika dalam berpolitik. Dengan kata lain, Moeldoko dianggap tidak menjalankan aktivitas berpolitiknya sesuai dengan prinsip moral dasar negara modern, termasuk legalitas hukum, nilai-nilai demokrasi, serta kejujuran dan keadilan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline