"Jangan terlalu banyak diskusi, jangan cengeng, tetapi terjunkan diri ke proses nilai tambah secara konsisten, pasti Indonesia akan terkemuka di Asia Tenggara dan di dunia." (BJ Habibie, Kompas, 9/3/1986)
Rasa sedih bercampur pilu mengiringi kepergian Eyang Habibie ke pangkuan Sang Pemilik Hidup, Allah Subhanahu Wa Ta'ala ( SWT), tak bisa begitu saja dihilangkan dari jiwa-jiwa yang terpukul ini.
Jiwa ini begitu terpukul, karena kita semua kehilangan sosok negarawan yg memang langka di negeri ini.
Eyang Habibie atau Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie pergi meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya, tatkala bangsa ini masih membutuhkannya.
Di antara banyak tokoh bangsa yang ikut menggerakkan roda demokrasi di negeri ini, Eyang justru selalu menempatkan diri berada di tengah-tengah, sehingga ketika demokrasi memanas, Eyang Habibie ikut menyejukkannya.
Eyang tidak menjunjukkan keberpihakan 'politik' pada siapa pun, seakan mengajarkan bagaimana indahnya berdemokrasi.
Jiwa teknokratnya seakan melebihi naluri politiknya, sehingga Eyang Habibie sepertinya tak peduli dengan jargon politik 'tak ada teman abadi, yang ada adalah kepentingan abadi'
Apa yang dilakukan Eyang Habibie untuk kemajuan demokrasi di negeri ini bukanlah basa-basi semata.
Eyang membuka kebebasan Pers setelah berpuluh-puluh tahun Pers terbelenggu dengan aturan SIUPP. Dan, kita semua mengakui bahwa Pers itu merupakan salah satu pilar demokrasi.
Referendum Timor Timur