Untuk sebagian orang, termasuk saya, atau mungkin juga Anda, melibatkan keluarga dalam kegiatan politik, sama halnya dengan upaya membangun dinasti politik.
Apabila tujuannya semata mensejahteraan rakyat, itu sama halnya kita mengajak keluarga berlomba-lomba berbuat kebajikan (fastabiqul khairat).
Namun, jika yang terjadi sebaliknya, itu sama artinya kita hanya memperkaya keluarga. Akhirnya, tentu saja masyarakat di luar keluarga kita itulah yang paling menderita.
Lain halnya jika kita melibatkan anak-anak atau anggota keluarga untuk sebuah usaha atau bisnis milik pribadi, karena bila terjadi penyelewengan maka yang dirugikan adalah masih dalam lingkup keluarga. Berbeda jika keluarga masuk dalam politik, bila terjadi penyelewengan, apalagi bila sudah memasuki tataran kekuasaan, maka negaralah yang dirugikan.
Kenyataannya, beberapa kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tak sedikit terjadi pada keluarga yang mempunyai ikatan kuat dalam politik.
Tidak lepas dari ingatan kita, dengan nama-nama, seperti Tubagus Chaeri Wardana (Wawan) adik dari mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Jambi Non-Aktif Zumi Zola yang bapaknya juga mantan Gubernur Jambi, Zainuddin Hasan adik kandung Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Muhammad Sanusi adik dari Ketua DPD Gerindra Jakarta M Taufik, dan masih banyak contoh lainnya.
Meskipun begitu, tak semua keluarga yang terlibat dalam politik lantas memanfaatkan pengaruh politiknya untuk hal-hal yang tidak sepatutnya.
Keikutsertaan keluarga dalam politik, tentu saja menjadi hal penting, khususnya untuk menjaga dan memperkuat eksistensi politiknya.
Hal inilah yang terjadi pada keluarga Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan juga Amien Rais.
Tak terkecuali keluarga Prabowo Subianto. Bahkan, jika ditarik ke belakang, orangtua Prabowo Subianto, yaitu Sumitro Djojohadikusumo merupakan tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI).