"Kebohongan yang dikampanyekan secara terus-menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah-olah) kenyataan! Sedangkan kebohongan sempurna, adalah kebenaran yang dipelintir sedikit saja."
Paul Joseph Goebbels, ahli propaganda Nazi Jerman.
Setelah sekian lama menggunakan metode dan cara berpolitik yang umum digunakan, sepertinya di Pilpres 2019 ini, Prabowo yang menggandeng Sandiaga Uno perlu menggunakan cara berpolitik yang jauh berbeda sama sekali dengan apa yang dibayangkan masyarakat selama ini.
Dengan memperhatikan apa yang dikemukakan Prabowo selama ini, sangat beralasan apabila Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari menilai cara atau strategi berpolitik yang digunakan Prabowo mirip dengan cara yang digunakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Berbagai isu yang diangkat Trump, seperti ancaman kekuatan Republik Rakyat Tiongkok, ancaman dari Islam garis keras hingga ancaman tenaga kerja imigran. Sentimen-sentimen tersebut dinilai mirip dengan yang dilakukan oleh Prabowo di Indonesia.
"Jadi menurut saya agak mirip, yang disebarkan adalah pesimisme, ketakutan. Ternyata pesimisme dan ketakutan itu dibeli oleh rakyat Amerika sehingga mereka memilih Donald Trump," ungkapnya.
Namun, bukanlah Prabowo jika tidak ada yang membelanya. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menyebut opini Prabowo Subianto yang dianggapnya meniru strategi Donald Trump untuk memenangkan Pilpres 2019 adalah sebuah pandangan keliru.
Memang, tak bisa dipungkiri, kondisi masyarakat saat inilah yang membuat Prabowo harus mengubah pendekatan atau cara berkampanyenya.
Saat keadaan ekonomi negara yang kurang menguntungkan seperti saat ini, biasanya masyarakat mudah untuk diprovokasi.
Karena itu, Prabowo pun sepertinya tidak lagi menggunakan patron-patron politik yang sama dengan rival politiknya, Joko Widodo (Jokowi). Justru kalau bisa harus bertolak belakang.