Lihat ke Halaman Asli

Syaira Najlalivia

Mahasiswa UPI Bandung

Ekstrakulikuler yang Tersisih

Diperbarui: 26 Januari 2025   06:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah SMP di Bandung, ekstrakurikuler olah raga futsal adalah bintang di antara semua kegiatan. Dengan tim futsal sekolah yang sering memenangkan kompetisi dan menyumbang piala demi piala, sorotan selalu terpusat pada mereka. Tidak hanya itu, OSIS juga mendapatkan perhatian besar karena dianggap sebagai representasi siswa yang paling bergengsi. Kegiatan OSIS selalu didanai dengan baik, dengan dukungan penuh dari kepala sekolah dan guru pembina. Namun, di sisi lain, ada satu ekstrakurikuler lain yang keberadaannya nyaris terlupakan: Palang Merah Remaja (PMR).

PMR hanya memiliki tujuh anggota aktif: Kayla, ketua PMR yang berdedikasi tinggi; Arya, wakil ketua yang sering membawa perlengkapan medis dari rumah;  Valla dan Kartika anggota lama dari kelas 8 yang berpengalaman; serta tiga anggota baru dari kelas 7 yaitu Ariq, Felisya, dan Asya. PMR sering diabaikan oleh pihak sekolah. Semua kegiatan mereka, mulai dari pelatihan hingga simulasi, harus dibiayai dari kantong sendiri.

"Kita harus membuktikan bahwa PMR itu penting," ujar Kayla suatu sore, saat mereka sedang membersihkan ruang UKS yang juga menjadi markas mereka.

"Tapi bagaimana? Kepala sekolah bahkan tidak pernah datang ke kegiatan kita," sahut Felisya sambil memeriksa kotak P3K yang mulai kosong.

"Bahkan OSIS selalu punya ruangan sendiri yang besar dan nyaman. Kita cuma dapat ruangan UKS ini," tambah Arya dengan nada kesal.

Rasa diabaikan ini semakin memuncak saat ada lomba PMR tingkat Bandung Raya yang membawa nama sekolah. Tidak ada bantuan atau dukungan dari pihak sekolah, bahkan untuk biaya transportasi dan perlengkapan lomba. Semua biaya harus dikeluarkan oleh anggota sendiri. Hal ini membuat Ariq, yang baru bergabung, merasa ada yang aneh. "Kenapa kita mewakili sekolah, tapi sekolah sama sekali tidak peduli?" tanyanya dengan nada bingung. Kayla hanya bisa tersenyum pahit. "Memang begini dari dulu. Kita seperti tidak dianggap."

Sayangnya, saat lomba berlangsung, mereka mengalami kegagalan total. Salah satu insiden terjadi ketika lomba tandu, di mana tali tandu yang mereka gunakan tiba-tiba putus. Akibatnya, simulasi yang seharusnya menunjukkan kemampuan mereka dalam menangani korban justru berakhir dengan kekacauan. Para juri langsung memberikan nilai rendah, dan PMR SMP mereka tidak berhasil membawa pulang penghargaan apapun. Kegagalan ini semakin mempertegas rasa diabaikan yang mereka rasakan.

Ketika mereka kembali dari lomba, tidak ada sambutan dari pihak sekolah. Bahkan, pengumuman hasil lomba itu tidak pernah dipajang di mading. Sementara itu, OSIS dengan bangga memamerkan kegiatan kecil seperti lomba debat internal yang langsung mendapat pujian dari kepala sekolah. Ariq semakin penasaran, terutama setelah mendengar bisikan dari beberapa kakak kelas bahwa PMR pernah melakukan kesalahan besar di masa lalu.

"Aku dengar dari kakak kelas kalau sekolah sengaja tidak peduli sama PMR karena ada sesuatu yang disembunyikan," kata Ariq suatu sore setelah latihan.

Ketiga anggota lain menatap Ariq bingung. "Disembunyikan? Maksudmu apa?" tanya Arya.

Ariq menjelaskan bahwa ia mendengar rumor bahwa PMR pernah melakukan kesalahan besar beberapa tahun lalu. Namun, tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi. Sejak itu, PMR mulai kehilangan perhatian dari pihak sekolah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline