Suasana pagi ini meriah sekali. Matahari bersinar cerah, tidak terlalu terik karena waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Hari ini berbeda dari biasanya. Aula sekolah yang biasa kosong kini disulap menjadi sebuah panggung teater megah lengkap dengan bangku-bangku penonton yang disusun sedemikian rupa mirip dengan bangku di sebuah Gedung pertunjukkan. Hari ini sekolah siap menyambut perlombaan pentas drama antar kelas.
Aku, Syaira, bersama tujuh teman sekelasku tengah bersiap di salah satu ruang kelas. Kami adalah perwakilan dari kelas 9D yang telah berlatih keras selama sebulan terakhir demi tampil maksimal dalam perlombaan ini. Tapi, suasana kelompok kami tidak seceria pagi yang cerah di luar sana.
Semua berawal tiga hari lalu, saat latihan di rumah Ayu.
"Rina, kamu kok masih lupa dialog di bagian ini?" tanyaku, mencoba menahan kesal. Rina terlihat kebingungan sambil membuka naskahnya.
"Aku sudah mencoba, Syaira. Tapi naskah ini sulit sekali!" balas Rina dengan suara frustrasi.
"Susah gimana? Kamu cuma tinggal menghapal dan menghayati! Kita semua juga sudah berusaha keras," sahut Anida dengan nada sinis.
"Hentikan, Anida! Jangan cuma menyalahkan orang lain," ujar Sabila dengan suara keras, membela Rina.
Ketegangan pun memuncak. Kami mulai saling menyalahkan satu sama lain, bahkan sampai Ayu yang biasanya tenang ikut terpancing emosi.
"Kalau begini terus, jangan harap kita bisa menang!" ucapku, menengahi dengan nada tegas. Tapi, suasana sudah terlanjur panas, dan latihan hari itu berakhir tanpa kemajuan berarti.
Hari berikutnya, ketegangan di antara kami belum juga reda. Bahkan saat kami berkumpul di kelas, suasana masih terasa canggung. Ayu akhirnya mengusulkan ide.
"Bagaimana kalau kita undang Kak Firda untuk membantu? Dia kan sudah pengalaman di teater," katanya.