Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Syaikhu

Kuli Dunia

Jonru, Siapkah Kamu Dipidana?

Diperbarui: 4 Januari 2016   07:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagaimana sedang ramai diberitakan, seorang yang konsisten sebagai pengkritik Jokowi, Jonru, melakukan sebuah tuduhan atas foto Presiden Jokowi. Jonru dalam postingannya, bertanya apakah foto tersebut asli atau editan. Apabila asli, ia akan segera meminta maaf dan apabila palsu, maka untuk apa Jokowi berbuat demikian.
Setelah terbukti asli, diperkuat dengan klarifikasi dari fotografer yang menjepret momen tersebut, serta merta Jonru meminta maaf dan menghapus cuitan tersebut. Apakah Jonru dapat dipidana?

UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE
Apabila persoalan ini dilanjutkan sebagai sutau perbuatan yang tidak menyenangkan, maka langkah yang dapat diteruskan adalah dengan membawa peristiwa ini ke ranah hukum. Lalu apa yang dapat menjerat perbuatan tersebut?
Karena yang diposting oleh Jonru berada dalam dunia viral, maka aturan hukum yang dapat menjerat Jonru adalah UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE. Pasal yang dapat dikenakan adalah Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Dan Jonru diancam dengan Pasal 45 ayat 1, bahwa “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2),ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Ngeri sekali bukan? Eits, tapi tunggu dulu, mari kita bahas peraturan pasal ini seseuai kacamata hukum.

Pencemaran Nama Baik
Pada prinsipnya, mengenai pencemaran nama baik diatur dalam KUHP, Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 s.d 321 KUHP.Melihat pada penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 KUHP, dapat kita lihat bahwa KUHP membagi enam macam penghinaan, yakni:

Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP)
Menurut R. Soesilo, supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan sebagainya, cukup dengan perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang memalukan.

Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP)
Menurut R. Soesilo sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, apabila tuduhan tersebut dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan “menista dengan surat”. Jadi seseorang dapat dituntut menurut pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat atau gambar.

Fitnah (Pasal 311 KUHP)
Merujuk pada penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 KUHP, sebagaimana kami sarikan, perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak masuk menista atau menista dengan tulisan (tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri. Dalam hal ini hakim barulah akan mengadakan pemeriksaan apakah betul-betul penghinaan itu telah dilakukan oleh terdakwa karena terdorong membela kepentingan umum atau membela diri, jikalau terdakwa meminta untuk diperiksa (Pasal 312 KUHP).

Apabila soal pembelaan itu tidak dapat dianggap oleh hakim, sedangkan dalam pemeriksaan itu ternyata, bahwa apa yang dituduhkan oleh terdakwa itu tidak benar, maka terdakwa tidak disalahkan menista lagi, akan tetapi dikenakan Pasal 311 KUHP (memfitnah).
Jadi, yang dimaksud dengan memfitnah dalam pasal ini adalah kejahatan menista atau menista dengan tulisan dalam hal ketika ia diizinkan untuk membuktikan bahwa tuduhannya itu untuk membela kepentingan umum atau membela diri, ia tidak dapat membuktikannya dan tuduhannya itu tidak benar.

Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP)
Penghinaan seperti ini dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang sifatnya menghina. R Soesilo, dalam penjelasan Pasal 315 KUHP, sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, masuk Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan”.
Penghinaan ringan ini juga dapat dilakukan dengan perbuatan. Menurut R. Soesilo, penghinaan yang dilakukan dengan perbuatan seperti meludahi di mukanya, memegang kepala orang Indonesia, mendorong melepas peci atau ikat kepala orang Indonesia. Demikian pula suatu sodokan, dorongan, tempelengan, dorongan yang sebenarnya merupakan penganiayaan, tetapi bila dilakukan tidak seberapa keras, dapat menimbulkan pula penghinaan.

Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP)
R. Sugandhi, S.H. dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya (hal. 337) memberikan uraian pasal tersebut, yakni diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja yaitu memasukkan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri dan menyuruh menuliskan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri.

Tindak Pidana
Pengertian Tindak Pidana menurut istilah adalah terjemahan paling umum untuk istilah "strafbaar feit" dalam bahasa Belanda walaupun secara resmi tidak ada terjemahan resmi strafbaar feit.
Secara garis besar tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang diberi sanksi berupa sanksi pidana. Untuk membedakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan tindak pidana ialah apakah perbuatan tersebut diberi sanksi pidana atau tidak diberi sanksi pidana.
Setiap tindak pidana pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan

Pencemaran Nama Baik dalam Kasus Jonru
Di dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE terdapat 2 unsur, yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif. Unsur-unsur obyektif di dalam pasal tersebut adalah:
1. Perbuatan Yaitu Mendistribusikan, Mentransmisikan dan Membuat dapat diaksesnya.
2. Melawan hukum, yaitu yang dimaksud dengan “tanpa hak”.
3. Obyeknya adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memuat penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Sedangkan unsur subyektifnya adalah berupa kesalahan, yaitu yang dimaksud dengan “dengan sengaja”. Ketiga perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya suatu informasi dan/atau dokumen elektronik tidak dapat diketemukan penjelasannya di dalam UU ITE tersebut baik dari sisi yuridis maupun sisi IT.
Unsur-unsur tersebut bersifat kumulatif, yakni apabila tidak terbukti secara meyakinkan, peristiwa tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai peristiwa pidana. Hanya sebagai peristiwa biasa.
Apabila mencermati cuitan Jonru tersebut, cuitan tersebut adalah bernada mempertanyakan. Ada unsur pertanyaan, bukan pernyataan. Dengan ‘cerdasnya’ Jonru memilih kata yang berada di ranah yang menyelamatkan dia dari jeratan hukum. Unsur pertanyaan tersebut membiaskan perbuatan pencemaran nama baik yang disangkakan kepada Jonru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline