[caption caption="Sumber: sindonews.com"][/caption]Kementerian Energi dan Sumber Data Mineral (ESDM) yang berada di bawah Sudirman Said ini menelurkan kebijakan. Untuk BBM jenis Premium, dibebankan sebesar Rp 200 per liter. Untuk BBM jenis Solar dibebankan pungutan sebesar Rp 300 per liter. Alasan Menteri ESDM Sudirman Said mengeluarkan kebijakan pungutan terhadap konsumen BBM merupakan implementasi Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 30 tahun 2007. Apakah memang demikian? Mari kita bahas kebijakan ini melalui bingkai hukum.
Pasal 30 UU 30 Tahun 2007 tentang Energi
Pasal 30 ayat (1) tahun 2007 tentang Energi merupakan dasar hukum yang digunakan Sudirman Said sebagai dasar berpijak pungutan tersebut.
“Pendanaan kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 difasilitasi oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.”
Dengan dalih pasal ini, seakan-akan negara boleh membuat kebijakan apa pun mengenai energi.
Namun, sepertinya Bapak Menteri ini belum membaca habis Pasal 30 seluruhnya. Dalam ayat selanjutnya, ayat (2), disebutkan bahwa:
“Pendanaan kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan dana dari swasta.”
Pasal 30 sendiri memberikan batasan mengenai sumber pendanaan penelitian adalah dari APBN, APBD dan swasta. Bukan dari pungutan masayarakat dalam membeli bahan bakar tersebut. Pungutan kepada pengguna atau konsumer BBM tidak termasuk digolongkan dalam ketiga sumber tersebut.
Dalam ayat (3) dinyatakan bahwa:
“Pengembangan dan pemanfaatan hasil penelitian tentang energi baru dan energi terbarukan dibiayai dari pendapatan negara yang berasal dari energi tak terbarukan.”
Dan terakhir dalam ayat (4) disebutkan: