Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Syaikhu

Kuli Dunia

Alamat Kematian KPK?

Diperbarui: 19 Desember 2015   11:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: kompas.com"][/caption]Dibalik riuhnya MKD yang berakhir SN mundur dan keputusan coba-coba kementerian Perhubungan mengenai galaunya Jonan dalam meutuskan nasib Go jek cs, ada satu hal yang terlupa. Salah satu berita yang juga tergolong penting, karena berkaitan dengan salah satu hal yang sudah menjadi budaya di negara ini, korupsi. Komisi III DPR sudah memilih lima orang jadi pimpinan KPK.

Lima pimpinan terpilih itu adalah Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, Alexander Marwata, Laode Muhammad Syarif, dan Saut Situmorang. Kelima pemimpin KPK tersebut, setidaknya terdapat tiga yang kurang mencerminkan keberpihakannya terhadap semangat pemberantasan korupsi.

Pertama, Basaria Panjaitan, jagoan Wakil Kepala Polri Komjen Budi Gunawan ini pernah secara terbuka mengatakan bahwa KPK cukup menjadi pusat pelaporan antikorupsi. Jadi, kedepannya, KPK hanya sebagai pengepul laporan korupsi. Menurut Basaria, KPK sebaiknya didorong sebagai lembaga yang mendukung penguatan kepolisian dan kejaksaan untuk kasus korupsi.

Basaria menjelaskan, fungsi KPK telah diatur dalam Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang pada intinya mendorong kinerja penegak hukum lainnya (triger machim). Oleh karena itu, Basaria mengusulkan agar KPK melimpahkan penanganan kasus kepada kepolisian atau kejaksaan ketika sudah ditemukan dua alat bukti terkait korupsi.

Bukankah menjadi hal yang aneh, karena filosofi atau ghirah adanya KPK adalah lembaga yang dibentuk (ad-hoc) dikarenakan perhatian khusus kepada korupsi yang sudah merajalela (extra ordinary). Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan, dianggap kewalahan dalam menangani kasus korupsi, maka dari itu dibentuklah KPK. Bahkan menurut UU, apabila terdapat kasus korupsi, dimana kasus tersebut masuk dalam kriteria kasus yang besar, Kepolisian dan Kejaksaan harus secara sukarela menyerahkan kasus tersebut kepada KPK.

Kedua, Alexander Marwata. Dia dikenal kerap melontarkan perbedaan pendapat atau dissenting opinion dalam putusan. Selama 4 tahun menjabat sebagai hakim ad hoc pengadilan Tipikor, Alexander Marwata sudah 10 kali mengeluarkan dissenting opinion dalam putusannya. Dissenting opinion pada dasarnya adalah hak penuh individual hakim dalam pertanggung-jawabannya terhadap putusan.

Alexander Marwata membela diri dengan mengatakan bahwa dia meyakini terdakwa tidak bersalah, misalnya tidak hati-hati atau kelalaian, bagi dia korupsi bukan masalah kelalaian. Namun, mengeluarkan 10 kalo dissenting opinion juga perlu menjadi pertanyaan dalam komitmennya memberantas korupsi.

Ketiga, Saut, pada wawancara pernah menyatakan bahwa jika terpilih sebagai pimpinan KPK, ia tidak akan membuka kembali kasus lama, seperti kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan kasus Bank Century. Bukankah itu kasus yang menjadi PR besar KPK? Dia beralaskan, efisensi. Semua harus dimulai dari nol lagi.

Sedangkan nama-nama yang sudah malang melintang di dunia hukum dan cenderung memiliki rekam jejak yang lebih meyakinkan, tidak dipilih oleh DPR. Apakah bentuk penyegaran atau pertanda kematiannya KPK? Semoga tidak dan dugaan saya salah. Semoga.

Ayo KPK periode 2015-2019, buktikan bahwa dugaan saya salah. Segera, tancapkan gigimu pada korupsi.

Salam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline