Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Syaikhu

Kuli Dunia

Bapak Jono, Seorang Biasa yang Luar Biasa

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

140497596023691933

Hey. Dia tokoh yang hebat. Amat luar biasa. Bagaimana ya, beliau bisa menjadi seperti itu? Bisa memiliki harta; kuasa dan tahta. Kekayaan yang seakan-akan tidak ada habisnya. Tahta yang membuat silau yang melihat, dan berbagai atribut dunia yang wow dah pokoknya. Membuat banyak orang ingin meneladani sosok yang demikian. Sempurna. Siapa tahu dengan meneladani pemikiran beliau; pola hidup beliau; tips-tips yang beliau guratkan dalam berbagai bukunya, kita dapat terciprat sedikit yang dia punya.

Tak salah memang apabila demikian. Begitu mengagumi sosok yang seperti itu. Namun acapkali kita terlupa dengan sosok biasa namun memiliki keteladanan yang sungguh luar biasa.

Terekam jelas dalam ingatan penulis, tanggal 18 maret 2014. Tanggal dimana penulis berjumpa dengan seseorang. Seorang yang, ah, biasa saja. Penjaja makanan kecil pada umumnya; snack-snack; minuman dan makanan ringan. Desa Kalicupak, Sokaraja, Jawa Tengah, tempat dimana penulis bertemu dengan beliau.

Aku pun membeli minuman ringan dari beliau, sekalian ingin bertanya-tanya. Beliau bernama bapak Sujono, biasa dipanggil bapak Jono. Dengan (maaf) segala keterbatasan fisiknya. (Beliau ini tak bisa berjalan dengan baik dikarenakan kaki beliau yang –entah mengapa sedari kecil- seperti putus uratnya, tak bisa menapak sempurna). Meskipun demikian beliau ini menghidupi diri dan keluarga tanpa meminta. Tanpa belas kasihan orang sekitar. Memalak, mana sanggup. Melakukan korupsi, mana bisa. Berjalan saja susah payah.

[caption id="attachment_314871" align="aligncenter" width="396" caption="Bapak Jono dengan Jajanannya"][/caption]

Kata-kata beliau yang akan selalu penulis ingat. Beliau berucap dalam salah satu dialog antara beliau dengan penulis, “Percuma memiliki harta selangit. Seisi dunia ini milik saya misalnya, namun apabila hati ini hanya berisikan ketamakan; keegosian; mana bisa saya bahagia. Bahagia itu letaknya dimana, tahu kah kau nak?

Aku diam, tak tahu harus menjawab apa, hanya gelengan kepala yang menjawab ketidak-tahuan diriku.

“Bahagia tak ada dimana-mana nak. Dia amat dekat dengan dirimu. Hati, nak. Cukup kita menyehatkan hati kita. Buat hatimu selalu bersyukur. Menikmati indahnya pemberian Tuhan kepadamu. Berapa pun jumlahnya. Apa pun itu. Bagaimana pun bentuknya. Tuhan tahu yang terbaik untukmu. Sesuai dengan ukuranmu. Pas. Tak kurang tak lebih,” demikian jawab beliau, diringi dengan senyuman, yang ah, amat terlihat ikhlas. Sungguh. Nasehat tersebut sederhana; simple, namun itu benar. Amat benar.

Syukur itu sederhana, kawan. Kita menerima apa yang Tuhan berikan. Itu teorinya, berat dipraktiknya. Acapkali kita dengar, berita orang yang punya tahta, ternyata terjerat kasus korupsi. Berita orang yang berharta; ternyata tak jelas asal usul sumbernya. Kita sering melupakan sekeliling kita. Disamping kiri-kanan kita. Terlampau diri ini hanya selalu ingin memandang keatas. Lupa memandang kesamping, apalagi kebawah. Mana ada kalimat syukur dalam hatimu, jika kau selalu seperti itu?

Wahai kawan, belajarlah dari sosok-sosok yang demikian. Bapak Jono hanyalah sebuah contoh kecil saja, yang mana beliau berusaha memenuhi hidupnya tanpa embel-embel iba. Selagi masih ada tenaga, meski dengan keterbatasan yang ada; lakukan yang kita bisa. Seraya terus berucap penuh kesyukuran, begitu ucapnya.

Apakah kau bisa memetik hikmah dari kisah ini? Maka Nikmat Tuhan Yang Mana Lagi Yang Kamu Dustakan, Wahai Kawan.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline