Sabtu pagi itu, Fikri merasa dunia sedang bersinar lebih cerah dari biasanya. Hari itu adalah hari yang telah ia nantikan sejak seminggu lalu: hari pertemuannya dengan seorang gadis cantik yang ia kenal lewat media sosial, bernama Citra. Mereka telah berbicara panjang lebar melalui pesan-pesan manis dan sekarang saatnya untuk bertemu di dunia nyata. Lokasi yang mereka pilih adalah taman kota yang indah, tempat yang ramai namun penuh dengan spot-spot romantis.
Fikri berdandan rapi, memakai kemeja biru favoritnya yang katanya bisa meningkatkan pesonanya. Dengan rambut yang sudah di-styling sedemikian rupa, dia berangkat dengan penuh percaya diri. "Hari ini pasti akan berjalan sempurna," pikirnya.
Saat tiba di taman kota, Fikri mencari-cari tempat yang sudah disepakati, bangku dekat air mancur besar. Tak sabar untuk bertemu, ia melirik ke kanan dan kiri. Namun, saat ia sampai di tempat itu, yang dilihatnya bukanlah seorang gadis muda cantik, melainkan seorang nenek-nenek yang sedang duduk sambil makan permen.
"Ah, mungkin dia belum datang," gumam Fikri sambil mengeluarkan ponselnya untuk mengecek pesan dari Citra. Tidak ada pesan baru. Ia memutuskan untuk menunggu sebentar.
Lima menit, sepuluh menit berlalu, tapi Citra belum juga muncul. Fikri mulai merasa gelisah. Nenek-nenek yang duduk di bangku itu tiba-tiba menoleh ke arahnya dan tersenyum. "Kamu Fikri, kan?" tanyanya dengan suara yang tak disangka sangat nyaring.
Fikri terkejut. "I-iya, saya Fikri. Anda siapa?"
Nenek itu tertawa kecil, mengibaskan rambutnya yang sudah memutih. "Aku Citra, cucuku sakit jadi aku yang datang."
Fikri tidak bisa mempercayai telinganya. Dia mencoba memproses informasi itu. Nenek-nenek ini Citra? "C-cucunya sakit? Kenapa tidak memberitahu dari tadi?" pikirnya dengan kebingungan.
"Oh, jangan cemas, Nak. Aku masih muda dalam hati!" kata nenek itu sambil tertawa lagi dan mengedipkan mata dengan genit. "Aku bawa banyak cerita seru tentang masa mudaku. Kamu suka cerita, kan?"
Fikri tidak tahu harus tertawa atau menangis. Dia merasa seperti terjebak dalam lelucon yang sangat buruk. Tapi, kesopanan mencegahnya untuk berlari dan meninggalkan nenek itu begitu saja. Ia duduk dengan kikuk di samping nenek tersebut.
"Jadi, Nak, dulu aku ini primadona kampung, lho! Banyak yang antre untuk jadi pacarku," kata nenek itu sambil tertawa geli. "Tapi aku pilih kakekmu, karena dia yang paling tampan dan jago main gitar."