Badan Pusat Statistik dan Otoritas Jasa Keuangan merilis hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang diumumkan pada bulan Agustus 2024 lalu dalam siaran pers instansi tersebut. Hasil SNLIK menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan penduduk Indonesia menunjukkan hasil 65,43 persen sedangkan indeks inklusi keuangan 75,02 persen.
Di dalam data itu hasilnya dikelompokkan gender, klasifikasi desa, kelompok umur, pendidikan, dan pekerjaan/profesi. Menurut saya, data yang dihasilkan cukup menjadi cerminan tentang kemampuan masyarakat dalam mengakses perbankan dan tingkat literasi keuangan saat ini.
Dua hal yang menarik untuk diulas saat sharing webinar waktu itu. Pertama, literasi keuangan perempuan lebih tinggi dibandingkan pria, indeks perempuan menunjukkan 66,75 persen sedangkan laki-laki 64,14 persen. Kedua, masyarakat pedesaan dinilai mempunyai tingkat inklusi dan literasi yang masih rendah dibandingkan penduduk di perkotaan yaitu 59,25 persen dan perkotaan 69,71 persen. (ojk.co.id, siaran pers survei literasi dan iklusi keuangan 2024)
Sekedar merefresh ulang apa yang dimaksud dengan literasi dan inklusi keuangan. Jika merujuk pada Otoritas Jasa keuangan bahwa masyarakat disebut punya literasi keuangan ditandai dengan 5 faktor yaitu pengetahuan, keterampilan, keyakinan pada lembaga jasa keuangan, serta sikap dan perilaku keuangan yang mempengharuhi terhadap pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan individu. Sedangkan masyarakat dikatakan inklusif keuangan adalah masyarakat yang menggunakan layanan jasa atau produk keuangan setidaknya 12 bulan terakhir saat dilakukan survei.
Dari data yang dihasilkan tingkat literasi keuangan lebih rendah ketimbang indeks inklusi keuangan. Secara sederhana masyararakat di Indonesia lebih besar menggunakan inklusi keuangan namun secara literasi keuangan masih direndah. Analoginya banyak orang yang menggunakan jasa/produk keuangan tanpa mencari tahu dulu impact dari perilakunya.
Contohnya begini, ketika ada orang yang lagi membutuhkan uang cepat untuk keperluan sehari-hari maka dia pasti mencari tau perbankan mana yang bsia mencairkan pinjamannya itu dengan lebih cepat. Padahal literasi keuangan itu mengambil peran sikap pengambilan keputusan saat kondisi semacam itu. Sehingga dia akan mencari dulu sepenting apakah pinjaman itu, untuk apa, apakah keinginan itu bisa dipending atau tidak, dan berapa persen dia mampu mengansur setiap bulannya. Artinya lebih dulu alam bawah sadar keinginan dibanding dengan perilaku pengetahuannnya
Literasi Keuangan Dulu atau Inklusi Keuangan?
Otoritas Jasa Keuangan juga pernah merilis beberapa langkah strategis untuk meningkatkan indeks literasi dan inklusi keuangan di masyarakat. Beberapa diantaranya melek isu keuangan, memanfaatkan platform digital, aktif kampanye keuangan, ikut pelatihan, menjalankan UMKM lokal.
Dari hasil indeks survei tahun ini yang menarik bagi saya adalah ketika tingkat literasi keuangan perempuan lebih besar dibandingkan para pria. Selain itu literasi keuangan di desa ternyata masih rendah. Pemerintah masih belum sepenuhnya memberikan perhatian pada masyarakat di pedesaan. Sehingga tidak merata antara tingkat awareness masyarakat di desa dengan di perkotaan.
Lebih dulu mana antara literasi dan inklusi keuangan masyarakat? Tentu jawabannya masih bisa diperdebatkan. Orang yang butuh uang tidak mungkin harus disuruh belajar literasi keuangan dulu, sebaliknya. Meskipun inklusi keuangan bisa diakses dengan mudah masyarakat perlu memberikan pondasi pengetahuan literasi keuangan kepada masyarakat.