Kandidat calon presiden telah muncul. Ganjar, Prabowo, dan Anies. Semuanya sibuk mencari dukungan. Berbagai strategi demi merebut hati rakyat dilakukan. Mulai dari turun ke masyarakat secara door to door hingga bermanuver agar viral.
Tak terkecuali, media massa juga terus menginformasikan pergerakan setiap capres. Alhasil, capres menjadi topik hangat yang selalu diperbincangkan di tengah masyarakat.
Berbagai media dipakai oleh para capres untuk membangun citra dirinya di tengah masyarakat. Rekam jejak disodorkan sedemikian rupa sehingga tampak mulus dan ideal. Sementara pihak lawan membantah dengan bukti-bukti celah yang dimiliki.
Di tataran petinggi partai politik pun tidak kalah sibuk. Mereka sibuk menyolidkan koalisi dan memastikan semua berjalan sesuai rencana. Ada koalisi gemuk dan koalisi ramping.
Namun, benarkah koalisi menentukan kemenangan bagi capres cawapres? Sekilas, koalisi memang akan sangat menentukan. Potensi itu tidak dapat dipandang sebelah mata.
Koalisi gemuk secara otomatis memiliki jumlah kursi yang lebih banyak. Setiap kursi memiliki massa di tengah-tengah masyarakat. Meskipun secara faktual pemilih DPR tertentu belum tentu memilih capres koalisinya, namun kemungkinan memilih capres sekoalisi lebih besar. Hal itu karena instruksi partai saat kampanye tentu menempelkan capres dukungannya.
Apalagi dalam sistem demokrasi, kuantitas memiliki kekuatan lebih daripada kualitas. Sepanjang jumlah pemilihnya melebihi batas minimal yang ditentukan maka seorang calon dapat menjadi pemenang.
Akan tetapi, koalisi gemuk atau koalisi ramping tidak bisa dijadikan jaminan mutlak. Ada banyak variabel lain yang juga menentukan kemenangan capres. Oleh karena itu, upaya capres untuk merebut hati rakyat harus terus dilakukan.
Sayangnya, berbagai upaya yang dilakukan oleh capres untuk merebut hati rakyat masih sangat abstrak dan normatif. Sebagian capres memilih jalur aman dengan mempromosikan diri untuk melanjutkan program presiden sebelumnya. Cara seperti ini mengakibatkan capres tampak tumpul gagasan. Dia tidak memiliki daya kritis terhadap kebijakan presiden yang sedang menjabat dan tidak mampu menyodorkan gagasan konkret untuk kesejahteraan rakyat dan kemajuan negara.
Sebagian yang lain memilih untuk berbeda dengan presiden. Namun, ketika disoal terkait bagian yang akan dibuat berbeda, jawaban yang diberikan tetap saja ambigu. Bahkan gagasan yang disodorkan pun berputar-putar pada jawaban abstrak dan normatif.