Lihat ke Halaman Asli

Syaiful Rahman

TERVERIFIKASI

Pelajar

Melorotnya Perekonomian Masyarakat

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika mendengar penuturan dari pihak Bank Indonesia yang menyatakan bahwa Madura termasuk daerah yang kualitas sember daya manusia dan perekonomiannya rendah, saya kaget dan tidak percaya. Kekagetan dan ketidakpercayaan itu memang belum mampu mendorong saya untuk mencari data kuantitatifnya. Namun, saya mencoba merasakan lewat cerita masyarakat. Bila saya belum sempat pulang kampung, saya mencoba menelepon orang tua dan bertanya. Kalau saya pulang kampung, saya mencoba bertanya kepada masyarakat mengenai kondisi perekonomian di daerah saya.

Pernyataan pihak Bank Indonesia ternyata memang tidak mudah dibantah. Semakin ke belakang, masyarakat, khususnya di daerah saya, semakin merasa tercekik. Kenaikan harga barang atau yang biasa disebut inflasi tidak diimbangi oleh tingkat pendapatan masyarakat. Masyarakat mengalami kesulitan dalam menemukan lapangan kerja. Kondisi tanah dan cuaca juga sering membuat masyarakat kecewa untuk menekuni pertanian. Pertanian seringkali menghasilkan kerugian.

Melihat kondisi perekonomian di daerah yang semakin terpuruk, maka tidak heran bila masyarakat Madura banyak yang merantau. Banyak masyarakat Madura yang menjadi TKI dan TKW. Atau paling tidak, banyak masyarakat Madura yang berbondong-bondong melakukan urbanisasi demi mendapatkan pekerjaan.

Saya tidak tahu secara pasti faktor apa saja yang menjadikan kondisi perekonomian masyarakat Madura demikian terpuruk. Kesenjangan ekonomi antara kaum borjuis dengan kaum proletar begitu besar. Hanya ada beberapa dugaan saya kenapa terjadi hal demikian.

Pertama, budaya masyarakat yang lebih senang pada dunia hiburan. Jika diperhatikan, masyarakat Madura senang mengadakan pesta di setiap gawe. Misalnya, ketika ada acara tunangan, pesta digelar besar-besaran dengan pengeluaran yang seringkali dihasilkan dari berutang. Tak lama kemudian, di saat pernikahan, pesta yang tak kalah besarnya juga digelar. Menyusul ketika tujuh bulan seorang perempuan hamil, ketika aqiqoh, dan lain sebagainya.

Bahkan, ada budaya unik yang belakangan ini berkembang di Madura. Orang-orang yang senang mengadakan pesta membentuk kelompok. Jika salah seorang di antara kelompoknya ingin mengadakan pesta namun tidak memiliki dana, maka anggota kelompok yang lain bergotong royong membantu. Sehingga pesta besar pun terlaksana dengan rapi dan sukses.

Namun, harus diingat, orang yang mendapat bantuan itu harus menggantinya jika yang membantu ingin mengadakan pesta. Ganti yang diberikan harus sesuai dengan bantuan yang pernah diterima. Semuanya sudah dicatat jadi tidak bisa mengelak untuk tidak mengembalikan bantuan yang pernah diterimanya. Akan tetapi, biasanya orang yang harus mengembalikan bantuan yang pernah diterima tersebut tidak mampu. Tapi, dia harus mengembalikan karena itu sudah merupakan kewajiban. Akibatnya, dengan terpaksa, dia harus mengutang. Entah dapat dari mana utang untuk mengganti tersebut.

Sekarang bisa dibayangkan, jika dalam satu kelompok terdiri dari sepuluh orang saja. Di mana, umumnya, masyarakat di daerah saya berprofesi sebagai petani yang penghasilannya tidak tetap dan sangat minim, sebut saja dua juta per bulan. Kemudian salah seorang di antara mereka akan mengadakan pesta dan dibantu oleh sembilan orang anggota kelompoknya, baca saja tiap orang memberikan bantuan sebesar 10 juta. Berarti pesta yang dilaksanakan, minimal menghabiskan uang sebesar 90 juta.

Setelah orang pertama melaksanakan pesta, sebut saja setiap dua bulan sekali, setiap anggota kelompok mengadakan pesta secara bergiliran. Artinya, setiap dua bulan, orang pertama tersebut harus mengeluarkan uang sebesar 10 juta untuk mengganti uang yang sudah pernah didapatkan. Padahal, dalam satu bulan penghasilan yang didapatkan hanya dua juta, atau empat juta per dua bulan. Lantas dari mana orang pertama akan menutupi kekurangannya untuk membayar utang itu dan dari mana dia akan mendapatkan makan?

Terkadang, bantuan yang diberikan tidak selalu berbentuk uang, bisa juga berbentuk benda. Misalnya, sound system, tempat pengantin, dan lain-lain. Celakanya, harga sewa benda-benda tersebut seringkali mengalami kenaikan. Akan tetapi, orang pertama tetap harus mengganti benda yang sama tanpa melihat kenaikan harga sewa. Akibatnya, dana sebagai pengganti pun mengalami pembengkakan.

Kedua, tingkat pengangguran yang semakin merajalela. Kalau saya perhatikan, pengangguran yang terjadi adalah akibat dari kualitas pendidikan yang dimiliki masyarakat. Memang banyak sarjana di Madura namun belum mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan juga tidak memiliki daya saing yang bagus. Kebiasaan yang muncul, para sarjana hanya menjadi pekerja sukwan atau pejabat pemerintah. Tak pernah muncul ide untuk membuka lapangan pekerjaan yang akan menyerap pengangguran.

Kalaupun ada orang yang ingin jadi pioner dalam membuka lapangan pekerjaan formal, birokrasi yang rumit seringkali menjadi penghambat. Prilaku oknum-oknum berkepentingan memenuhi setiap sudut ruangan. Sehingga, para inovator merasa malas untuk membangun usaha karena biaya untuk menutupi oknum-oknum berkepentingan tidak seimbang dengan pendapatan yang dihasilkan. Tak heran bila banyak orang Madura lebih memilih memiliki usaha di luar Madura.

Uraian di atas merupakan pandangan subjektif semata. Tak ada data yang dapat saya tunjukkan. Uraian tersebut hanyalah berdasarkan apa yang saya lihat dan saya rasakan mengenai penyebab perekonomian yang semakin ambruk di pulau garam, pulau tempat saya dilahirkan.

Solusi mendasar yang harus segera diselesaikan adalah perombakan dan perbaikan tatanan birokrasi di Madura. Perlu ada pembersihan dari oknum-oknum yang tidak memberikan manfaat terhadap perkembangan Madura. Perlu diberlakukan tatanan birokrasi yang mendukung perkembangan masyarakat.

Setelah tatanan tersebut baik, langkah selanjutnya adalah menata masyarakat melalui kelompok-kelompok yang berkembang. Bagaimanapun, jiwa santri atau “apa kata kiai” masih tertanam dalam diri masyarakat Madura. Melalui kelompok-kelompok yang biasanya diikuti para kiai maka dapat dimasukkan penataan masyarakat yang lebih baik. Semoga Madura menjadi lebih baik!

Sumenep, 3 April 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline