Beberapa minggu yang lalu, saya lupa kapan tepatnya, saya baca sebuah kisah di koran Kompas. Dalam tulisan itu diceritakan bahwa ketika sebuah buku biografi hendak ditulis, sang penulis mewawancarai orang yang akan ditulis biografinya itu hingga berjam-jam. Bahkan sampai tidur bersama hanya dalam rangka mendapatkan informasi sedetail mungkin plus kondisi perasaan yang dialami orang yang akan dibiografikan tersebut.
Percaya? Tentu saja saya sendiri percaya kalau sang penulis harus berwawancara hingga berjam-jam. Sebab saya sendiri punya pengalaman menuliskan profil seseorang. Memang tidak banyak, hanya sekitar empat sampai lima halaman kertas A4. Tapi, waktu yang saya gunakan untuk wawancara mencapai dua jam. Sekuat yang saya mampu, saya menyerap segala informasi dari cerita orang di hadapan saya. Baik dari ekspresi, gaya bicara, gestur, hingga detail orangnya. Harapannya, ketika saya hendak menyalin cerita tersebut dapat mengalir dengan lancar.
Namun, saya tetap harus mengakui bahwa memang tidak mudah untuk menyalin hasil pembicaraan dengan narasumber menjadi tulisan yang bagus. Saya selalu merasa gagal ketika membuka sebuah tulisan. Padahal kalau mengingat apa yang dikatakan oleh Laurence Sterne (penulis Inggris tapi kelahiran Irlandia), "Menulis, ketika dilakukan secara benar, tak beda dengan orang bercakap-cakap".
Kemudian saya membaca tulisan AS. Laksana (pengisi Ruang Putih di koran Jawa Pos), memang seorang wartawan dapat menyalin hasil wawancara dalam bentuk tulisan, namun yang harus juga menjadi catatan adalah hasil wawancara tersebut tidak langsung disalin tanpa diedit. Wartawan harus memilih dan memilah terlebih dahulu agar tulisan yang dihasilkan nanti enak dibaca. Dengan demikian, dibutuhkan kejelian dan kepekaan seorang wartawan dalam memilih informasi untuk dituliskan.
Saya rasa pernyataan AS. Laksana di atas mendukung terhadap kelemahan saya dalam menulis. Meski di sisi lain, saya tidak dapat mengelak bahwa kelemahan saya dalam menulis adalah kejelian dan kepekaan untuk memilih informasi agar tulisan yang dihasilkan nantinya enak dibaca.
Dan betapa saya harus mengakui bahwa saya masih sangat lemah dalam menulis ketika Dr. Suyatno, M.Pd. menuturkan jurus saktinya dalam menulis. Dia menuturkan, "Jika Anda dapat berbincang lisan dengan kawan lain selama satu jam, itu berarti sudah dapat menulis sebanyak sepuluh halaman, satu spasi, kertas A4 apabila direkam lalu disalin ke tulisan."
Saya pun akhirnya harus mengakui kebenaran pernyataan tersebut meski bagaimanapun saya juga harus tetap memberi catatan. Ada beberapa alasan kenapa pernyataan tersebut mesti saya benarkan. Tak perlu rasanya membayangkan terlalu jauh, hal terdekat yang dapat diambil contoh adalah naskah pidato atau khutbah jumat.
Dapat dilihat ketika seseorang menyampaikan pidato lima menit saja, dapat disalin menjadi tulisan minimal satu halaman. Sebagai contoh naskah sambutan Gubernur Jawa Timur pada acara peringatan HUT ke-69 Proklamasi RI kemarin, naskah tersebut berjumlah 15 halaman. Padahal ketika Rektor Unesa Prof. Dr. Warsono, M.S. membacakannya di hadapan peserta upacara tidak lebih dari lima belas menit.
Dari fakta di atas, saya pun tidak dapat mengelak dari pernyataan Dr. Suyatno, M.Pd. Kalau saja seseorang sering berbicara dapat dituliskan tentu berbicara dalam waktu satu jam saja dapat menghasilkan tulisan, atau dengan kata lain menyalin pembicaraan dalam bentuk tulisan, sepuluh halaman kertas A4. Saya kira pernyataan tersebut tidak berlebihan.
Contoh yang paling sederhana lagi adalah orang-orang yang suka menulis status di dinding facebook. Betapa cepatnya perputaran status yang ada di dinding facebook. Tak jarang saya menemukan status iseng yang berisi ungkapan-ungkapan ketika sang penulis melihat, berpikir, atau merasakan sesuatu. Misalnya sang penulis disakiti pacarnya, kemudian meng-update status, "Brengsek!" Padahal itu hanya dalam waktu seper berapa second. Pernah saya membayangkan, seandainya setiap status itu dikumpulkan tentu akan menjadi buku yang sangat besar.
Untuk itulah, sekali lagi saya harus mengakui bahwa tidak ada alasan untuk mengatakan "tidak ada yang bisa saya tulis". Cukup datang ke seorang teman, kemudian berbincang beberapa menit, maka hasil perbincangan tersebut sudah dapat disalin menjadi tulisan yang berhalaman-halaman. Alasan "tidak ada..." itu hanyalah sebuah alasan kemalasan belaka.