Lihat ke Halaman Asli

Syaiful Rahman

TERVERIFIKASI

Pelajar

Bertemanlah dengan Penulis maka Kamu akan Jadi Penulis

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dulu, waktu saya masih kecil dan masih suka bermain layang-layang, kelereng, petak umpet, dan lain-lain, guru-guru saya sering mengatakan bahwa jika seseorang itu ingin harum maka bertemanlah dengan pedagang minyak, dan sebaliknya, bila ingin bau maka bertemanlah dengan pengangkut kotoran.

Saking seringnya kalimat itu dilontarkan oleh guru bahkan juga oleh orang-orang tua, kalimat itu akhirnya dapat saya ingat di luar kepala. Waktu itu saya belum berpikir lebih dari kalimat itu. Saya rasa itu hal yang biasa-biasa saja. Saking biasanya, tampaknya kalimat itu pun tidak membekas sama sekali. Kata orang zaman dahulu, masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.

Kemudian, saat saya masih ngaji di langgar bersama teman-teman, guru ngaji saya mengajar kitab Ta’lim al-Muta’allim. Kalau tidak salah itu karya Imam az-Zarnuji. Kitab itu banyak memberikan pelajaran yang berkaitan dengan orang-orang yang mencari ilmu atau tholabul ‘ilmi. Salah satu yang masih membekas mengenai pelajaran dalam kitab itu, yang berkaitan dengan kalimat di atas, adalah sebagai seorang pencari ilmu maka seyogyanya mencari guru dan teman yang baik.

Ya, lagi-lagi guru saya harus mengaitkan bab dalam kitab itu dengan kalimat “jika seseorang itu ingin harum maka bertemanlah dengan pedagang minyak, dan sebaliknya, bila ingin bau maka bertemanlah dengan pengangkut kotoran.” Sehingga, lama-kelamaan saya pun bisa menangkap maksud kalimat tersebut.

Tentu saja sangat sederhana, bahwa perkembangan manusia itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Senakal-nakalnya orang yang tinggal di lingkungan pesantren pasti dia salat dan ngaji. Senakal-nakalnya orang yang hidup di lingkungan pendidikan tentulah dia masih sekolah.

Jadi, istilah pedagang minyak dan pengangkut kotoran hanyalah metafor dari lingkungan kehidupan. Pedagang minyak merupakan metafor dari lingkungan yang baik, baik berupa teman, guru, maupun budaya. Sementara pengangkut kotoran merupakan metafor dari lingkungan yang buruk.

Pernyataan di atas tampaknya sangat  relevan jika dikaitkan dengan pelajaran kesepuluh tentang menulis dari Dr. Suyatno, M.Pd. Dalam edisi kesepuluh beliau menjelaskan: “Bersahabatlah dengan para penulis karena niscaya Anda akan dapat menjadi penulis. Ikuti cara mereka menulis. Dalami penggayaan yang penulis lakukan. Tangkaplah alur tulisannya. Lalu, cobalah dengan menulis menurut diri Anda sendiri.”

Bila dicermati maka dapatlah ditangkap bahwa Dr. Suyatno, M.Pd. pun sangat mengamini pentingnya sebuah lingkungan dalam memengaruhi kehidupan penulis. Dengan berteman dengan seorang penulis, sedikitnya orang tersebut akan terpanggil atau kalau tidak, merasa terketuk untuk ikut menulis. Memang ada sebuah kebiasaan yang selalu terjadi yakni, biasanya seorang pedagang akan memiliki banyak teman yang juga berprofesi sebagai pedagang, biasanya orang yang senang di bidang IT akan memiliki banyak teman yang juga senang di bidang IT. Singkatnya, biasanya orang itu akan lebih suka berteman dengan orang yang memiliki kesenangan yang sama. Maka aneh—kalau tidak mau dikatakan mustahil—bila orang lebih suka berteman dengan orang yang berlawanan kesenangan.

Sebab itulah, maka sudah semestinya bila seorang penulis memiliki teman yang juga penulis. Selain karena memiliki kesukaan yang sama juga dengan berteman seorang penulis, apalagi penulis yang sudah senior, maka penulis pemula dapat belajar banyak. Penulis pemula dapat mengetahui dan meneladani proses kreatif penulis senior yang menjadi temannya itu.

Dan yang juga menjadi rahasianya adalah belajar menulis itu mahal harganya. Bila kita lihat para mentor dalam membuka pelatihan menulis, biayanya ada yang sampai menembus tiga juta rupiah. Wah! Tentu saja itu sangat bagi mahasiswa apalagi mahasiswa yang sering terkena Kanker (kantong kering) seperti saya.

Nah, dengan berteman dengan penulis yang sudah senior maka penulis pemula dapat belajar gratis. Selain dapat belajar gratis juga dapat belajar lebih leluasa. Yang paling penting juga adalah tidak semua ilmu disampaikan dalam pelatihan. Oleh karena itu, dengan berteman maka akan dengan mudah mendapatkan rahasia-rahasia menulis para penulis senior.

Tapi, yang juga perlu diingat bahwa penulis senior tidak menyampaikan sebagian ilmuanya dalam pelatihan meskipun peserta sudah membayar mahal bukan berarti penulis itu pelit. Melainkan ada beberapa hal yang biasanya penulis itu tidak menyampaikan. Pertama, penulis senior membutuhkan pertanyaan dari audien. Kenapa harus ditanyakan? Sebab menulis adalah praktik atau proses kreatif. Menulis bukan sekadar teori tapi lebih menekankan pada praktik.

Kedua, ada kalanya materi yang harus disampaikan oleh pemateri menuntut kesesuaian dengan tema pelatihan. Sehingga beberapa hal yang ada di luar meskipun itu penting tidak dapat disampaikan sebab tidak sesuai dengan tema. Misalnya tema penulisan artikel ilmiah, meskipun gaya menulis fiksi sebenarnya juga bermanfaat dalam penulisan artikel ilmiah namun itu tidak disampaikan dalam pelatihan.

Oleh karena itu, tidak berlebihan bila pernyataan Dr. Suyatno, M.Pd. di atas dijadikan sebagai rekomendasi berharga untuk pengembangan diri penulis pemula khususnya. Dengan berteman dengan penulis senior maka penulis pemula dapat meneliti gaya menulis penulis senior. Tapi bukan berarti plagiat sebab sebagaimana yang dikatakan Dr. Suyatno, M.Pd. di atas, ketika menulis tetap menggunakan gaya menulis diri sendiri. Penulis pemula hanya mengikuti dan melihat cara menulisnya. Semoga bermanfaat!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline