Lihat ke Halaman Asli

Zaman Edan di Kota Kita (Alih Wahana)

Diperbarui: 16 Juli 2024   21:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di tengah gemuruh suara demonstrasi yang menggema di jalan-jalan Jakarta. Aku duduk di meja kerja, menatap layar komputer yang penuh dengan berita konflik dan ketidakpastian akan kekuasaan. Berita dengan tulisan-tulisan besar, mulai dari kebobrokan kekuasaan politik, korupsi, kolusi, dan bahkan nepotisme. Sesuatu istilah yang sudah berhenti digaungkan pada masa Soeharto dijatuhkan. Semakin lama memandang layar, semakin terasa diri ini terjebak dalam pusaran zaman yang berputar tak ada akhir. Zaman informasi tersebar dengan cepat dan liar begitu memusingkan, berita hoax beredar seakan sudah normal dalam kehidupan internet Indonesia.

Sebelum lanjut. Aku Rian, Rian Bramantya. Seorang jurnalis muda di salah satu surat kabar terkemuka di Jakarta. Pekerjaan yang sudah aku impikan sejak masih duduk di bangku perkuliahan, terinspirasi dari pembicara workshop jurnalistik yang diadakan oleh komunitas jurnalistik mahasiswa di kampusku. Sejak saat itu kuniatkan diri ini menjadi pencari kebenaran dan pemberi informasi objektif kepada masyarakat. Namun, setelah beberapa bulan menjadi jurnalis, aku merasa bahwa sangat sulit untuk menetapkan hati dalam keadaan politik dan sosial yang semakin kacau tiap harinya. Aku frustrasi.

**

Pada suatu hari, aku mendengar berita burung bahwa salah satu redaktur di tempatku bekerja mendapat tekanan dari pihak-pihak atasan untuk mengubah narasi berita menjadi lebih sensasional dan menguntungkan bagi kelompok tertentu. Di awal aku tidak percaya akan berita tersebut, karena namanya saja berita burung. Burung, hewan yang jarang menetap di tempat yang sama, mencari kebahagiaan dan keramaian umpan di berbagai tempat. namun hal itu langsung jelas ketika Dina, seorang kolega kerja sesama jurnalis menghampiri meja ketika aku sedang menulis tentang penggusuran pedagang kaki lima dengan cara yang kurang tepat.

"Kenapa kamu begitu keras kepala, Ri? Ini semua tentang rating dan pendapatan. Sudahlah, kita harus menyesuaikan dengan permintaan pasar." Kata Dina yang memang terlihat lebih pragmatis dari diriku.

"Tapi, ini tidak benar Din. Kita harus menyampaikan kebenaran, bukan membelokkan fakta demi keuntungan. Bukankah kau sendiri sudah dengar apa yang disampaikan mas Malik dulu," jawabku tegas mengingatkan.

Konflik ini semakin hari semakin membuat berat udara dalam kantor. Hal ini juga berdampak pada informasi yang termuat dalam laman-laman berita, apalagi kanal kita termasuk yang terbesar di wilayah Jakarta. Aku semakin intens melihat banyak orang sekitar, termasuk teman-teman dekat dan keluarga, mulai terjebak dalam arus informasi yang menyesatkan. Semakin berasa juga rasa sepi dalam perjuangan mempertahankan integritas jurnalistik di tengah zaman yang penuh kebohongan dan manipulasi. Lebih terasa konflik ini dalam salah satu rapat redaksi, Aku yang merasa bahwa hal ini sudah semakin salah memberanikan diri untuk menyampaikan pendapat.

"Kita tidak dapat terus-menerus begini, menyesuaikan diri dengan tekanan eksternal. Kita punya tanggung jawab moral kepada pembaca untuk menyampaikan kebenaran." Tegasku dalam rapat yang sedari tadi dingin dan lembab.

Sudah tertebak, usaha itu sia-sia. Terlihat dari respons redaktur senior yang hanya menggelengkan kepala dan berkata. "Ri, kamu memang idealis. Tapi, dunia nyata tidak sesederhana itu, kita harus bertahan, dan ini caranya."

Kalimat pendek dengan nada datar menampar diri ini dengan rasa putus asa yang tertinggal hingga aku kembali ke rumah. Di rumah, aku berusaha merenungkan situasi ini, di meja kerja aku menjentikkan jari dengan irama acak-acak kan. Kulihat salah satu serat  yang tergeletak di depan mataku, serat yang kutemukan tempo hari di salah satu perpustakaan ketika ingin meriset tentang satu hal untuk berita. Serat Kalatidha, kuambil dan coba kubaca dengan pemahaman yang tipis dan putus-putus, ya walaupun sudah pernah hidup di Yogyakarta untuk empat tahun aku tak dapat mengerti bahasa Jawa dalam naskah ini sepenuhnya.

"Mangkya drajating praja, kawuryan wus sunya ruri, rurah pangreh ing ukara, karana tanpa palupi, ponang parameng kawi, kawileting tyas mulat kung, kongas kasudranira, tidhem tandhaning dumadi, ardayeng rat dening karoban rubeda."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline