Lihat ke Halaman Asli

Syaiful Anwar

Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Diamond Wedding Opa Tjiptadinata Effendi dan Oma Roselina Tjiptadinata: Memoar Cinta dalam Tiga Generasi

Diperbarui: 10 Oktober 2024   13:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Di bawah langit biru yang menawan, Opa Tjiptadinata Effendi dan Oma Roselina Tjiptadinata merayakan perjalanan hidup mereka yang luar biasa, memasuki tahun ke-60 pernikahan. Momen ini bukan sekadar merayakan dua jiwa yang saling mencintai, melainkan juga menjadi panggung bagi sebuah warisan cinta yang terjalin dalam tiga generasi.

Ketika memandangi wajah Opa dan Oma, tidak hanya wajah yang terlihat, tetapi juga sinar kebahagiaan yang memancarkan kasih sayang yang tulus. Mereka adalah lambang dari cinta abadi, dua bintang yang saling melengkapi dalam langit kehidupan. Di dalam setiap detak jantung mereka, terdapat kisah yang mengalir dari satu generasi ke generasi berikutnya, seperti aliran sungai yang tidak pernah berhenti mengalir.

Generasi Pertama: Keterikatan Abadi

Opa Tjiptadinata, seorang pria dengan segudang cerita, mengenang hari-hari awal ketika ia dan Oma bertemu. Setiap kenangan menyimpan aroma manis cinta yang pertama kali bersemi. "Cinta kami diawali dari sebuah pertemuan yang tak terduga, saat festival seni di tengah keramaian," kata Opa, tatapannya berkilau. "Saat itu, aku merasakan getaran yang tak biasa ketika melihat senyummu."

Oma, dengan kerinduan di matanya, mengangguk. "Kita belajar untuk saling memahami, menjalani setiap suka dan duka. Cinta bukan hanya soal perasaan, tetapi juga tentang komitmen dan pengorbanan." Saat mereka berbagi kisah cinta, terlihat bagaimana waktu tidak mengubah kedalaman cinta mereka, tetapi justru memperkuatnya.

Generasi Kedua: Pelajaran dari Cinta

Dari cinta yang mengakar kuat, lahirlah dua anak yang kini menjadi pelanjut warisan cinta mereka. Dalam setiap langkah, anak-anak ini mengamati bagaimana Opa dan Oma saling mendukung. "Mereka bukan hanya orangtua, tetapi juga guru bagi kami," ujar anak sulung mereka, seakan menegaskan kedalaman nilai-nilai yang telah ditanamkan. "Kami melihat bagaimana mereka mengatasi setiap tantangan dengan sabar dan penuh kasih."

Ketika momen-momen sulit datang, Opa dan Oma tidak ragu untuk berbagi pelajaran. "Ketika kami berdebat, kami selalu ingat bahwa komunikasi adalah kunci. Kita tidak hanya berbicara untuk didengar, tetapi juga untuk memahami," ungkap Oma. Dalam pandangan anak-anak mereka, tampak bagaimana nilai-nilai cinta ini terpatri dalam diri mereka, membentuk cara pandang terhadap hubungan dan kehidupan.

Generasi Ketiga: Meneruskan Warisan

Kini, ketiga cucu mereka merasakan dampak dari cinta yang telah terjalin selama enam dekade. Mereka mengagumi Opa dan Oma, tidak hanya sebagai nenek dan kakek, tetapi juga sebagai simbol cinta yang tulus. "Cinta mereka mengajarkan kami untuk tidak takut mencintai," kata cucu termuda dengan semangat. "Kami belajar bahwa cinta sejati tidak akan pudar, bahkan di tengah badai."

Bahkan di era digital ini, di mana cinta sering kali disederhanakan oleh interaksi yang cepat dan dangkal, cinta Opa dan Oma menjadi pengingat bahwa esensi cinta yang sejati terletak pada kedalaman hubungan. "Cinta bukanlah sekadar kata-kata, tetapi tindakan nyata," ungkap cucu perempuan mereka. "Kami ingin meneruskan warisan ini, menghidupkan cinta dalam tindakan sehari-hari."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline