Pembangunan infrastruktur sering kali dipandang sebagai simbol kemajuan dan pertumbuhan ekonomi. Jalan tol, bandara, bendungan, hingga kawasan industri adalah wajah modernisasi yang, bagi sebagian besar masyarakat, mencerminkan peningkatan kualitas hidup. Namun, di balik kemegahan infrastruktur tersebut, ada pertanyaan besar yang sering diabaikan: Apakah kita sedang membangun masa depan atau justru menghancurkan ekosistem yang menopang kehidupan kita?
Infrastruktur dan Ekosistem: Hubungan yang Terancam
Indonesia, sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, menghadapi dilema klasik antara pembangunan dan pelestarian lingkungan. Pembangunan infrastruktur yang masif sering kali terjadi di wilayah-wilayah yang sensitif secara ekologis, seperti hutan tropis, rawa gambut, dan kawasan konservasi. Hutan, yang berfungsi sebagai penopang kehidupan bagi banyak spesies dan penyerap karbon, sering kali menjadi korban pertama dari ekspansi pembangunan infrastruktur. Dalam konteks ini, robohisasi infrastruktur -- sebuah istilah yang merujuk pada penghancuran ekosistem demi pembangunan -- perlu ditinjau lebih mendalam.
Di banyak daerah, pembangunan jalan tol, jalur kereta api, atau kawasan industri telah mengakibatkan deforestasi yang signifikan. Hutan yang selama ini menjadi benteng pertahanan alami dari perubahan iklim dan penyedia air bersih bagi jutaan masyarakat lokal telah ditebang untuk membuka jalan bagi pembangunan. Selain hilangnya tutupan hutan, pembangunan ini juga menghancurkan habitat berbagai satwa langka, mempercepat degradasi tanah, dan meningkatkan risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
Dampak Ekonomi vs. Dampak Ekologis
Banyak yang berargumen bahwa pembangunan infrastruktur diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki akses transportasi, yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Memang benar, infrastruktur yang memadai dapat membuka peluang ekonomi baru, terutama di daerah pedalaman yang sebelumnya terisolasi. Jalan yang baik dapat mempercepat distribusi barang, menurunkan biaya logistik, dan membuka akses ke pasar global.
Namun, kita tidak bisa menutup mata terhadap dampak ekologis yang diakibatkan oleh pembangunan infrastruktur yang tidak berkelanjutan. Ketika hutan ditebang, kita tidak hanya kehilangan pohon-pohon, tetapi juga fungsi ekologis yang tak tergantikan. Penyerapan karbon berkurang drastis, memperburuk krisis iklim yang sudah kita hadapi. Selain itu, hilangnya hutan juga berarti hilangnya keanekaragaman hayati yang menjadi sumber pangan, obat-obatan, dan mata pencaharian bagi masyarakat lokal.
Biaya ekologis dari robohisasi infrastruktur ini sering kali lebih besar daripada manfaat ekonominya. Ketika ekosistem hancur, biaya pemulihan lingkungan bisa sangat mahal dan memakan waktu yang lama. Banjir bandang, erosi tanah, dan kerusakan keanekaragaman hayati adalah sebagian dari konsekuensi jangka panjang yang mungkin tidak langsung terasa, tetapi dampaknya akan dirasakan oleh generasi mendatang.
Infrastruktur Hijau: Mungkinkah?
Untuk menjawab tantangan ini, kita perlu mempertimbangkan infrastruktur hijau sebagai solusi alternatif. Infrastruktur hijau merujuk pada pendekatan pembangunan yang mengintegrasikan pelestarian lingkungan ke dalam desain dan pelaksanaannya. Ini bisa berupa penggunaan teknologi ramah lingkungan, pembangunan yang memperhatikan keberlanjutan, atau bahkan proyek yang mendukung pemulihan ekosistem.
Misalnya, di beberapa negara, pembangunan jalan tol dilengkapi dengan koridor satwa liar untuk memastikan bahwa hewan-hewan tidak terisolasi dari habitat alaminya. Selain itu, penggunaan material ramah lingkungan dan perencanaan yang memperhatikan daerah aliran sungai dapat mengurangi risiko banjir dan degradasi tanah. Pembangunan infrastruktur juga bisa diarahkan ke wilayah yang sudah mengalami degradasi ekosistem, sehingga dampaknya terhadap hutan dan lahan alami dapat diminimalkan.