Lihat ke Halaman Asli

bayu_nplus

Musisi Jelata / Tukang musik

Bansos PSBB Wabah Covid-19 di DKI Jakarta, Data Vs Realita

Diperbarui: 27 Mei 2020   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhir-akhir ini bansos menjadi pusat perhatian layaknya selebriti yang lagi naik daun, paling tidak dikalangan warga bawah agak menengah sedikit. Di sisi lain yang patut disyukuri masih banyak warga, elemen masyarakat mengeluarkan dan membagikan bansos tentu dengan cara mereka sendiri. Tetap saja pemerintah pemain utama mengeluarkan bansos karena sudah menjadi tanggungjawabnya. Banyak yang tertawa gembira karena kebagian tapi tidak sedikit yang geram bercampur kecewa tidak kebagian. Lho, kok bisa ??

Menurut data dari pemprov DKI Jakarta yang diusulkan ke pusat adalah 2 juta KK ( Megapolitan kompas.com tanggal 6 Mei 2020 ). Usulan data tersebut berkenaan dengan warga miskin dan terdampak PSBB karena wabah Covid-19. Bayangkan betapa hebatnya pemprov DKI Jakarta bisa mendata warga terdampak PSBB dengan cepat padahal pemberlakuan PSBB belum diberlakukan . Hanya yang menjadi pertanyaan, apakah data itu up to date atau basi ?. 

Curiga boleh, menuduh yang tidak boleh. Kalau data itu adalah data warga prasejahtera berarti judulnya bukan warga terdampak PSBB Covid-19 tapi warga prasejahtera saja. Terus bagaimana warga terdampak PSBB wabah Covid-19 ?. Tidak dipungkiri banyak warga yang downgrade, awalnya tidak termasuk warga prasejahtera lalu dapat dikatakan warga prasejahtera. Semua itu terjadi sejak covid-19 mewabah. Status tanggap darurat diberlakukan kemudian dilanjutkan PSBB. Praktis warga yang bekerja di sektor informal ngerem mendadak, kita pasti tahu akibat ngerem mendadak. Gaji tetap tidak ada, penghasilan pas-pasan, hanya mengandalkan hasil harian. Ngerem mendadak, terjungkir masuk parit kriteria warga prasejahtera dadakan . Sebagai pendatang baru warga prasejahtera, apa yang bisa diperbuat ?.

Kembali ke data, ternyata di lapangan banyak yang berubah. Mungkin dulunya prasejahtera tapi sekarang tidak lagi. Bahkan ada yang sudah pindah rumah, dulunya ngontrak rumah petak tapi sekarang rumah sendiri. Meski ada juga yang dulunya ngontrak rumah petak lalu pindah ke rumah sendiri tanda kutip rumah mertua di kampung, sebuah merger yang menguntungkan. Akibat data yang tidak update pastinya salah alamat seperti lagunya Ayu Tingting, salah sasaran, dan muncul protes sana-sini, kecemburuan sosial,dsb. 

Bayangkan seorang anggota DPRD terdata mendapat Bansos ( Data Kacau, Anggota DPRD DKI Jakarta Justru Masuk Daftar Penerima Bansos  Megapolitan,kompas.com tanggal 22 April 2020 ), sementara tetangganya yang sudah tidak bisa jualan nasi goreng  malah tidak mendapatkan bansos. Ada juga yang sudah pulang kampung ( bukan mudik lho ya! ) namanya tertera di form bansos, lebih horor lagi warga yang sudah meninggal  masih dapat jatah bansos  ( Orang meninggal pun dapat Bansos, mediaindonesia.com tanggal 20 April 2020 ) padahal kita tahu di akhirat tidak butuh bansos.

Data memang penting dalam sebuah kebijakan, keputusan dan pelaksanaan sebuah program agar terarah, efektif juga efisien. Hanya yang jadi masalah apakah data itu obyektif, representatif, relevan, mempunyai kesalahan yang kecil dan tentu saja up to date agar reliable ( handal ). Dan kita semua membuat sebuah data itu butuh waktu agar handal, itu semua proses. Jadi kalau Pemprov DKI Jakarta menggunakan data atas nama warga dampak covid-19, rasanya tidak mungkin. Kapan surveynya, mendata,dsb dalam waktu singkat.

Berarti data bansos yang diusulkan Pemprov DKI adalah data lama yang notabene mungkin data dari warga prasejahtera, itupun belum diperbaharui alias tidak up to date. Wajar kalau akhirnya banyak salah sasaran dan kurang dalam jumlah penerima. Pemerintah pusat berkali-kali mengeluarkan pernyataan bahwa seluruh masyarakat yang terdampak covid-19 berhak mendapat Bansos. 

Meski ada klasifikasi terdampaknya, misal ringan, sedang dan berat. Ini jelas bukan hanya warga yang terdata di data warga prasejahtera tapi ada penambahan jumlah penerima bansos. Pemprov harusnya jeli menghitung jumlah penerima bansos dengan mempertimbangkan sosial ekonomi sebuah kecamatan dan kelurahan.

Belum usai heboh pembagian bansos yang tidak merata, salah sasaran dan salah alamat, muncul protes warga domisili non KTP DKI Jakarta. Nama mereka tidak masuk dalam daftar penerima bansos meski mereka sudah kembang kempis hidupnya, alasannya warga non KTP DKI Jakarta. Mereka harus lapor ke RT/RW setempat agar bansos berikutnya bisa masuk dalam daftar penerima bansos. Lha ini sudah senewen benar. Laparnya sekarang disuruh makan nanti entah kapan karena ketua RTnya pun belum tahu pasti jadwal bansos berikutnya. 

Celakanya lagi itu bersifat usulan, namanya usulan tentu masih 50% diterima atau tidak diterima. Lebih tragis lagi ada paket bansos yang dikembalikan karena salah alamat. Alasan perangkat RT/RW hanya takut. Kok takut ? Kalau memang benar itu untuk warga yang yang sangat membutuhkan mengapa takut. Bukti foto dan tanda tangan penerima sudah cukup dalam situasi kritis. Giliran korupsi yang lain berani tapi mengganti orang penerima bansos takut. 

Yah hal ini memang tidak menguntungkan secara finansial. Padahal perangkat RT,  RW dan Kelurahan dapat bersandar pada pernyataan Pemerintah bahwa masyarakat terdampak Covif-19 berhak dapat Bansos. Tapi mengapa di lapangan soal KTP saja jadi persoalan atas paket senilai Rp.150.000,_ ??. Padahal meski warga KTP non DKI tapi juga ber-KTP masih WNI dan jelas domisili di DKI Jakarta , RT tentu tahu persis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline