Lihat ke Halaman Asli

Syaiful Amran

Iman, Ilmu, Amal

Daripada Ribut PKI, Lebih Baik Rekonsiliasi

Diperbarui: 1 Oktober 2020   19:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi rekonsiliasi, Sumber: Bali Express

Belakangan ini, isu kebangkitan PKI kembali menyeruak ke permukaan. Entah kenapa, setiap kali memasuki gelaran pemilu, isu ini selalu menjadi bumbu pelengkap yang membuat suasana menjadi panas.

Padahal jika kita merujuk pada Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, jelas bahwa PKI telah ditetapkan sebagai organisasi terlarang. Selama TAP MPRS tentang pembubaran PKI ini tidak dicabut, mustahil untuk PKI secara organisasi akan bangkit.

Memang tidak dapat dipungkiri, kenangan kelamnya masa lalu itu masih menyisakan residu. Ada kepiluan, ada perasaan yang tak bisa diungkapkan, dan ada cerita-cerita yang menyisakan misteri hingga hari ini.

Namun upaya untuk membersihkan residu itu telah diupayakan oleh pemimpin bangsa ini sejak era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hingga Joko Widodo melalui berbagai upaya rekonsiliasi.

Seluruh upaya negara menjaga keutuhan bangsa ini tentunya akan menjadi sia-sia jika rekonsiliasi tidak menjadi kehendak seluruh elemen bangsa. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, 75 tahun Indonesia merdeka hanya akan menjadi kenangan jika kita masih merawat residu (dendam) masa lalu dan terus mempolirasasi serta menggelorakan perang ideologi di tengah-tengah masyarakat.

Dengan momentum Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2020 kali ini, kita perlu duduk bersama. Merenungkan mau dibawa ke mana kapal besar bernama Indonesia ini berlayar. Kita memerlukan rekonsiliasi "sederajat", duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Mari kita merumuskan ini semua dengan atas nama anak bangsa, bukan lagi atas nama justifikasi masa lalu.

Secara pribadi, saya berharap di republik ini akan tumbuh dan terus bermunculan tokoh-tokoh seperti Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Alasannya sederhana, sejak awal kemunculannya di panggung politik, AHY selalu menjadi tokoh yang menyerukan pentingnya rekonsiliasi nasional untuk menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia.

Contohnya, AHY mampu menjadi "pereda" ketegangan dan menawarkan konsep rekonsiliasi nasional pasca panasnya tensi di Pilpres 2019 lalu. Selain itu, AHY juga gigih menjalankan silaturahmi 360 derajat di tengah situasi Covid-19 sebagai upaya rekonsiliasi menyatukan tekad bersama untuk berjuang menyelamatkan rakyat Indonesia. Terakhir, dalam konteks isu PKI dan Hari Kesaktian Pancasila, AHY juga menawarkan rekonsiliasi nasional sebagai langkah merajut sejarah bangsa.

Kita semua tentunya sepakat untuk tidak melupakan sejarah. Tapi hidup yang terpaku dengan kenangan masa lalu tentunya tidak akan pernah membuat kita maju ke depan. Mengutip tulisan Tere Liye:

Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian dari hidup kita. Peluk semua kisah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan dia akan memudar sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan baru yang lebih bahagia. Apakah mudah melakukannya? Itu sulit. Tapi bukan berarti mustahil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline