Lihat ke Halaman Asli

Pulang Kampung, Salubulung, Perjalanan Spiritual, dan Kefanaan

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

dari kolong rumah, alu beradu
anak dara anak jejaka diguyur peluh
mengoyak bulirbulir padi dalam lesung gaharu
aku rindu pulang kampung memanggul kayu
puasa pertama dalam linangan air mata ibu

Larik-larik puisi di atas, saya tulis di Kendari, 20 Agustus 2008 yang silam.  Puisi yang diguratkan ketika kerinduan datang memanggil. Memanggil untuk pulang kampung, ke haribaan tanah air, ke pangkuan ayah dan bunda. Puisi yang lahir ketika Ramadan akan segera datang dan saat ibu masih hidup.

Yah, pulang kampung selalu berada dalam rencana paling mulia seorang anak dan seorang perantau untuk kembali ke rangkulan orang tua dan kepada tanah air yang melahirkannya. Tahun 2008 silam itu, saya tidak pulang kampung, karena jarak, waktu, dan juga kesempatan.

Kini, ketika menjelang Lebaran Idul Fitri 1433 H, 2012 M, kesempatan pulang kampung itu datang dan tak tertahankan. Salah satu rencana paling memanggil adalah mengunjungi dan berdoa di makam ibu tercinta. Tanggal 24 April 2010 yang lalu, ia kembali ke haribaan Ilahi. Dan, baris terakhir sajak di atas, tidak lagi membuat saya puasa pertama dalam linangan air mata ibu, tetapi puasa ke dua puluh empat dalam guyuran air mata ayah, yang sudah uzur, 85 tahun.

Maka, 9 Agustus 2012, usai salat Magrib, saya bersama anak dan istri, segera meninggalkan Bandar Udara Haluoleo, Kendari, menuju Makassar, menumpangi Merpati Airlines. Ada pernyataan klise, bahwa bukan Indonesia jika jadwal penerbangannya tidak tertunda. Hal ini juga saya alami, yang tertunda lebih dua jam. Maka, pesawat pun meninggalkan Kendari, yang sementara menggelorakan azan ke jagat raya. Karena sudah masuk waktu Magrib, saya melaksanakan salat di udara, di tengah suara deru pesawat membelah langit kirmizi Kendari. Membelah kefanaan cakrawala.

Pulang kampung bagi saya, bukan sekadar rutinitas belaka, sebagai wujud kerinduan seorang anak rantau. Bukan pula sebagai ajang bermaaf-maafan semata dengan handai taulan. Juga bukan hanya ingin melihat kampung sejak tahun 2006 silam. Pulang kampung adalah wujud keimanan seorang perantau, demikian kata Buya Hakma, seorang ulama yang sastrawan. Dengan demikian, pulang kampung adalah sebuah perjalanan spritual. Sebuah proses menyelusuri kembali masa silam, masa kanak-kanak, dan masa remaja. Merenungi yang telah berlalu itu untuk menjadikannya sebagai jalan penghikmatan dan memetik buah hikmahnya. Membayangkan kembali handai taulan yang telah berpulang ke rahmatullah sebagai keniscayaan sunnatullah. Sudah banyak generasi tua yang telah tiada dan kini diganti generasi termuda, berupa segerombolan anak-anak yang masih berumur di bawah sepuluh tahun. Pulang kampung, sebuah perjalanan “ke dalam” diri sekaligus “ke luar” diri. Sebuah wisata lahir dan batin untuk merenungi eksistensi jagat mikrokosmos dan makrokosmos.

Pesawat mendarat dengan tenang, 45 menit kemudian di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar. Bandara terbaik kedua di Indonesia, setelah  Bandara Juanda, Surabaya, yang memperoleh penghargaan dari Menteri BUMN, Dahlan Iskan, setahun silam. Bandara ini dirancang dengan sentuhan modern dan minimalis yang dipadu dengan akar budaya Sulawesi Selatan & Barat. Salah satu wujud kelokalannya adalah motif langit-langit cekung bandara yang “mengambil” motif sarung khas Mandar. Jika Anda memasuki bandara, patung Sultan Hasanuddin sang perkasa yang melawan Belanda, berdiri megah menyongsong kedatangan Anda. Ia menggenggam keris di pinggang sebelah kiri, tetapi percayalah tidak akan menarik dan menghunusnya. Keris itu, kata penyair yang ulama, asal Madura, D. Zawawi Imron, menjelma keris martabat, keris spiritual.

Kami istirahat tidak jauh dari gerbang masuk bandara, persis di sisi baliho raksasa yang menampangkan wajah gubernur dan wagub Sulsel, H. Syahrul Yasin Limpo danH. Agus Arifin Nu'mang. Di situ tertulis sebuah slogan politiknya, Don’t Stop Komandan. Kira-kira lima belas meter lagi, sebuah baliho besar memperkenalkan calon gubernur yang juga Wali Kota Makassar sekarang dan cawagubnya, Ilham Arief Sirajuddin & Aziz Qahhar Mudzakkar, dengan slogan yang apik, Semangat Baru Sulawesi Selatan. Kedua pasangan ini akan bertarung di pilgub Sulawesi Selatan periode 2013—2018 yang akan datang. Kurang lebih tiga jam menanti, atau sekitar pukul 22.00 Wita, mobil yang akan mengangkut kami ke Polewali, Sulbar akhirnya datang juga. Sopirnya bernama Bondan. Ia humoris dan selalu melayani kemauan penumpang. Salah kekhasan orang Mandar.

Saya tiba-tiba ingat Baharuddin Lopa, sang pemberani dari Pamboang, Mandar. Sebelum meninggal di Tanah Haram, Mekah, saya membaca wawancaranya di Kompas, bahwa Soeharto harus diproses secara hukum dengan cepat. Jika tidak, ia dapat jatuh “sakit” dan mengganggu proses hukumnya. Pernyataanya terbukti benar. Mantan Presiden yang berkuasa 32 tahun itu, sakit-sakitan dan tidak pernah “diurus” secara serius. Keduanya kini, Soeharto dan Baharuddin Lopa telah kembali ke hariabaan Ilahi.

Deru mobil segera meninggalkan Makassar. Selamat datang di Maros, kabupaten pertama usai ibu kota Sulsel ini. Di sini, berdiri megah nan memesona, Masjid Agung yang peresmiannya diikuti Ustaz Aa Gym, sebelum ia poligami. Kata Aa, semoga masjid ini tidak menjadi bagian dari kritik Nabi bahwa pada suatu masa banyak masjid yang berdiri, tetapi orang yang salat di dalamnya hanya dapat dihitung jari. Masjid ini persis berhadapan dengan Kantor Bupati Maros. Mungkin Pak Bupati ingin mendekatkan para stafnya dengan masjid agar menjadi hamba pemakmur rumah Tuhan itu. Sebagai info, Maros adalah salah satu kabupaten ”model” ESQ versi Majalah Nebula tahun 2008, karena nuansa religius yang dibangun pemkabnya.

Saya kemudian melewati Kabupaten Pangkep, Barru, Pare-pare, dan Pinrang. Faiz, anak saya, karena kepanasan di dalam mobil, menghibur dengan nyanyian tangisnya. Untung ibunya,  sabar menidurkan di pangkuannya. Karena kelelahan, kami tertidur di perjalanan. Jalan provinsi atau antrakabupaten di Sulses begitu mulus dan luas yang terbuat dari beton. Luas jalan kurang lebih 30 meter yang terbagi dua lajur. Saya terbangun ketika, mobil sudah berada di tikungan tajam Mirring di Kab. Polmas. Sebuah tikungan yang langsung berhadapan dengan pantai nan indah. Di kawasan inilah, setiap yang datang ke Polewali, menyempatkan dirinya untuk menikmati keindahan laut yang benar-benar biru, perahu Sandeq khas Mandar, dan bukit-bukit hijau yang berdiri di tengahnya.

Tepat pukul 03.26 Wita, kami tiba di rumah kakak, Syamsuddin Gani. Di rumah inilah tempat saya tinggal ketika menempuh pendidikan di SMAN 1 Polewali dulu. Di rumah ini pula, ayah dan ibu saya yang sudah tiada, selalu tinggal dan menginap, jika datang dari kampung Salubulung, dari pegunungan.

Berdoa di Pemakaman, Berdoa karena Kefanaan

Pagi harinya, Ahad, 10 Agustus 2012, niat untuk mengunjungi makam ibu, segera kutunaikan. Mengendarai sepeda motor milik kakak, saya ajak istri dan anak untuk mengunjungi makam mertua dan nenek mereka. Di hadapan makam, kami berdoa, agar almarhumah dikarunia kebahagiaan di alam kubur sampai kiamat kelak. Diampuni dosa-dosanya dan dilapangkan kuburnya. Tidak lupa pula berdoa agar anak dan cucunya dijadikan generasi saleh, beriman, berkarya, dan diselamatkan dari jilatan api neraka.

Kami melangkah ke makam kakak tertua saya, Hasanuddin Gani, yang wafat Juni 2011 akibat serangan jantung di perjalanan, usai salat Jumat, usai menjenguk saudara sepupunya yang baru saja meninggal pagi harinya. Ia berpulang di tengah sumbangsihnyasebagai Ketua Panitia Pernikahan Kurnia, anak dari sepupu sekali kami. Di undangan pernikahan yang sudah beredar, namanya ikut mengundang sebagai keluarga wanita, keluarga kami. Akan tetapi, kehendak Sang Kuasa yang sudah disuratkan di Lauhul Mahfuz, menggarisakan bahwa beliau berpulang sehari sebelum pernikahan yang mulia itu. Di tengah kebahagiaan pernikahan, ada guratan duka. Atau dengan lain kata, di balik nuansa duka karena kematian, ada tersirat rona kebahagiaan karena pernikahan. Kebahagiaan dan kedukaan telah berpilin jadi satu. Semoga pintu Surga yang dibuka oleh Allah Sang Kuasa karena pernikahan hamba-Nya, dibukakan pula bagi kakak kami di Alam Sana. Amin.

Kini, makam ibu dan anak pertama kami itu, berdampingan. Saya juga mendoakan mereke berdua, juga kepada ibunda Rijaluddin (istri dari saudara ibu saya), yang saya tidak tahu letak makamnya, semoga dikaruniai Surga dan ampunan. Tidak lupa, saya singgah di makam sepupu saya, Alm. Fachruddin D.M. (Papa Pipi) semoga diampuni dan diberi Surga. Amin. Saya baru ingat saat menulis catatan perjalanan ini, di kompleks itu juga terdapat makam sepupu saya, Abdul Latif atau Papa Desi, yang menghadap ke haribaan Ilahi tahun 1997 silam. Doa segera saya kirimkan untuknya. Mengunjungi makam adalah penting, untuk mengingatkan kita akan kematian, akan kefanaan, akan dosa-dosa.

Sebelum bertolak ke kampung, terlebih dahulu, kami menginap di rumah tante istri saya, Mama Ifah. Di rumahnya telah menanti Ifah dan suami, Rahmy, Ani, dan juga Ida. Mereka cukup humoris dan dikaruniai kebaikan hati. Sewaktu buka puasa, kami dihidangkan ayam masakan khas Salubulung yang tidak berkuah.

Saya juga singgah bertemu saudara ibu, Ambokna Ahi di rumah Mama Ari. Beliau kurang lebih sudah berumur 80 tahun. Saya salami dan cium tangannya yang sudah keriput dan menanyakan kabarnya. Katanya, ia sudah tidak sanggup lagi puasa, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Ketuaan tidak lagi memungkinkan melakukannya. Niat baik dan bentuk tanggung jawabnya sebagai hamba Allah adalah membayar fidyah kepada yatim piatu, sebagai pengganti puasanya. Ambo juga menceritakan ihwal kematian sang istri tercinta. Almarhumah, pada sore harinya masih menyempatkan diri berkeliling dari rumah ke rumah anak dan cucunya yang tidak jauh dari tempatnya menginap. Ia masih menyapa dan bersilaturrahmi, sebuah pertanda bahwa tidak lama lagi ia akan berpulang.

Indo, demikian kami biasa memanggil, masih sempat menunaikan salat Magrib. Ketika salat Isya tiba, beliau pun masih melaksanakannya. Usai salat Isya itulah, tiba-tiba ia merasakan sesak di dadanya. Ambo yang baru datang dari masjid, pun memangku Indo di pangkuannya. Sebelum berpulang, Ambo masih sempat membisikkan kalimah Syahadat dan Indo mengikutinya. Beberapa detik kemudian, Indo menghadap haribaan Allah, di pangkuan suami tercinta. Inna lillahi wainna ilaihi rajiun.

Aspal “Baje Tanggoreng” Baliho, dan Janji-janji

Maka, Ahad, 16 Agustus 2012, Pukul 13.30 Wita, Zuzuki Kijang, mobil angkutan umum, segera mengangkut kami ke kampung yang berjarak kurang lebih 150 kilometer. Ini adalah mobil milik ponakan, anak dari sepupu sekali saya. Sopir yang humoris bernama Baba, adik Halijah, teman sekelas saya sewaktu duduk di SMPN 1 Mambi. Kami duduk di deretan kursi tengah. Di ujung kanan, istri saya yang memeluk Faiz, saya di tengah, dan di sisi kiri, Mama Ani,  mertua perempuan pemilik mobil. Selama perjalanan ia banyak bercerita yang mengundang senyum dan tawa seluruh penumpang, kecuali Faiz yang kebanyak menangis karena kepanasan.

Meninggalkan Kota Polewali menuju pegunungan yang perlahan-lahan dibalut dingin, saya tersadar bahwa jalan menuju kampung kami, tidak pernah benar-benar mulus. Sejak saya masih SD, ketika Mamasa masih satu kabupaten dengan Polewali (Kab. Polewali Mamasa) sampai ketika keluar dan membentuk Kabupaten Mamasa, aspalnya hanya berusia muda, setelah itu kembali menjadi “baje tanggoreng”, meminjam istilah Mama Ani yang duduk di sebelah kiri saya. Baje Tanggoreng adalah penganan yang terbuat dari kacang tanah yang diluluri gulan merah lalu digoreng. Begitulah pengandaian aspal ke kampung kami yang mudah hancur dan bercerai-berai. Sekali tergilas ban mobil, ia segera lumer dan tercecer.

Salah satu pemandangan yang menyita perhatian kami ketika memasuki wilayah Kab. Mamasa adalah terpampangnya baliho-baliho politik di sepanjang jalan sampai di Mambi. Begitu banyak wajah yang senyum manis di sana, menyatakan diri sebagai Calon Bupati Mamasa 2013—2018. Baliho-baliho pencitraan itu dipancangkan di pinggir jalan yang aspalnya rapuh dan ta’hambur. Ada yang berslogan Ayo Bangun Mamasa, Pemimpin Masa Depan Mamasa, Hanya Mau Bekerja, Sudah Terbukti, Percayakan kepada Kami, dan sebagainya. Baliho-baliho yang berukuran besar itu, juga kadang terpasak di antara rumah miskin warga yang menyedihkan. Padahal semua orang tahu bahwa Kab. Mamasa menjadi salah satu daerah otonom terkorup di Indonesia. Sekarang ini, ada beberapa mantan anggota DPRD Mamasa yang meringkuk di balik jeruji besi, karena kasus suap dan korupsi.

Bukit Kehijauan dan Sungai Kehidupan

Di balik rasa sedih melihat jalan dan baliho-baliho politik itu, saya masih dihibur oleh bukit-bukit hijau dan sungai-sungai kehidupan yang berjajar dan mengalir sepanjang jalan. Inilah salah satu kekayaan Kab. Mamasa yang diberikan langsung oleh Tuhan. Mendaki jalan yang melingkar-memutar di Tumonga dan Pasapa, di sisi kiri dan kanan adalah bukit yang melahirkan hutan-hutan natural.

Segera ketika menjelajahi jalan datar di Messawa lalu Sumarorong, engkau akan merasakan sapaan angin gunung yang purbawi. Sumarorong adalah kota gunung yang diberkahi hutan lindung dan sungai besar yang selalu berganti warna: coklat dan bening. Jika penghujan, warnanya coklat dan jika kemarau tiba, kejernihan airnya sangat memukau para pelancong. Di sini, engkau dapat langsung menyentuh untaian rerumputan yang merunduk ke jalan, melalui jendela mobil.

Di Sindagamanik engkau boleh menangis dan terharu menyaksikan hutan-hutan pinus yang berdiri rapi di bukit jauh sana. Konon, pinus adalah hutan bawaan Belanda sewaktu memasuki wilayah ini, pada zaman penjajahan. Keterharuanmu masih akan bertambah ketika memandang pucuk Gereja yang menyembul di antara tajamnya puncak pinus. Pada bagian paling atasnya, terdapat ayam jago, salah satu simbol gereja. Jika melewati kampung ini jelang malam hari, engkau akan melihat warga yang duduk atau berdiri di pinggir jalan atau di rumah sambil mengkammuk atau membungkus diri dengan sarung khas Mamasa yang berwarna dan tebal, untuk mengusir dingin.

Belum sempurna perjalananmu jika belum membeli dan menikmati buah markisa yang dijual di pinggir jalan. Jika bernasib baik, engkau akan melihat ibu atau bapak tua yang duduk di depan pintu sambil mengunyah daun sirih dan buah pinang. Senyumnya yang merah akan mengantarmu melanjutkan perjalanan.

Perjalanan menuju kampung memang terasa melelahkan, karena sejak meninggalkan Polewali, mobil terus mendaki pegunungan sekitar 100 kilimeter. Pendakian terhenti ketika sampai di kota kecil, Malabo. Inilah tempat persinggahan legendaries bagi mobil angkutan sejak tahun 1970-an sampai sekarang. Penumpang akan turun dan makan di warung-warung pinggir jalan. Bagi yang beragama Islam, sekaligus menunaikan salat, lalu makan siang. Penumpang yang dimabuk kendaraan, akan memuntahkan isi perutnya, karena guncangan jalan berlubang dan berbelok-belok.

Saat di kota persimpangan menuju Mambi dan Mamasa ini, saya kaget karena ibu tua pemilik warung yang kami singgahi adalah dia yang sejak saya SD dulu, pemilik dan pelayan warung tersebut. Bedanya, dulu ia masih gadis manis, sekarang sudah dibelit waktu dan ketuaan.Kesetiaannya menjaga warung dan melayani penumpang, adalah kesetiaannya menjaga Malabo dan kehidupan. Sebuah keteladanan yang patut ditiru.

Mobil meniti di atas jembatan Malabo yang agak rawan. Ketika SD dulu, setiap penumpang melewati jembatan ini, diturunkan demi mengurangi beban mobil. Di bawahnya, mengalir sungai Malabo yang deras dan berbatu besar.

Inilah fase kedua perjalanan pulang kampung. Sejak meninggalkan Malabo, jalan beraspal baje tanggoreng benar-benar mengguncang mobil yang kami tumpangi. Salah satu perbedaan mendasar jalanan ini tahun-tahun silam, adalah ruas jalan yang jadi lebar karena sisi bukit yang dikeruk oleh Pemda Mamasa. Akan tetapi, kualitas jalan tidak pernah berubah. Mobil melenggang kiri dan kanan dan kadang terperosok ke jalan berlubang. Ironisnya, menurut pak sopir, jalan Malabo-Mambi baru saja diaspal oleh pemerintah, tetapi seakan-akan baru pengerasan belaka. Kerikil-kerikil aspal terhamburan ke tepi selokan. Badan jalan yang selalu digilas ban mobil, menjadi dalam dan tidak beraspal sama sekali. Meskipun demikian, La Tahzan¸jangan bersedih, kata penulis buku best seller Aidh Al Qarni, karena banyak senyuman, lambaian tangan, dan kata-kata “penyejuk” kalbu yang terpampang di baliho yang berderet sepanjang jalan. Di situ ada kata-kata “penenang” perjalanan, Mari Bersatu Membangun Mamasa, Pemimpin Muda Pembaharuan, Jika Tuhan Berkenan, Kita Pasti Bisa, Atas Permintaan Masyarakat Saya Siap Membangun Mamasa. Kita Wujudkan Mamasa yang Jaya, Aman, Damai, Sejahtera, dan Bermartabat. Semoga…

Tepat pukul 18.35 Wita, kami tiba di Mambi. Mama Ani, mengajak saya dan istri singgah di rumah anaknya dan salat Magrib di sana. Oh Mambi, sebuah kota kecil tempat menempuh pendidikan di SMPN 1 Mambi. Malam ini, salah seorang alumnimu datang, ingin pulang kampung lahir dan batin. Ingin melakukan penyucian diri, sebelum kembali lagi ke negeri rantau.

Menyusuri Jalan ke Salubulung

Dari Mambi, ibu kota kecamatan, sekitar lima kilo lagi tanah kelahiran saya, Salubulung. Usai salat Magrib, mobil datang lagi, setelah pak sopir singgah di rumah istri untuk buka puasa bersama.

Mobil meluncur perlahan meninggalkan Mambi yang sudah mengumandangkan Salawat dari menara masjid besar. Suara riak air dari sungai Mambi segera terdengar, menzikirkan kebesaran Ilahi. Semua makhluk di bumi ini berzikir kepada Pencipta, kata Ustaz Arifin Ilham. Mobil segera meniti Jembatan Mambi. Lampu mobil menerangi dengan jelas gambar-gambar kandidat Bupati Mamasa yang terpampang di baliho pada Pertigaan Mambi-Aralle-Salubulung. Ini adalah tempat paling strategis pada para calon pemimpin Kab. Mamasa untuk tampil sebaik mungkin di hadapan warga yang datang dan pergi ke kampung masing-masing. Dari Mambi belok kiri, adalah warga dari kampung Pada, Salubulung, Salubua, Kampuang, Lombongan, Maerang, Pepana, Saluang, dan Pamoseang. Jika belok kanan, maka warga dari kampung Loka, Saluassing, Salukepopo, Lemo, Tapalinna, Uhailanu, Ralleanak, Aralle, dan Lingku yang akan memelototi wajah-wajah di baliho itu. Mambi adalah ibu kota Kecamatan Mambi yang menjadi pusat ekonomi dan perdagangan. Di Mambi terdapat pasar tradisional yang dibuka setiap Senin dan Kamis. Pada hari itu ribuan warga dari berbagai pelosok kampung datang menjual hasil bumi dan membeli kebutuhan pokok.

Menyusuri jalan menuju Salubulung, bagi saya adalah memasuki kembali kenangan masa silam. Di jalan inilah, setiap harinya bersama lebih sepuluh teman saya, pulang-pergi ke Mambi untuk menempuh sekolah di SMPN 1 Mambi. Saat itu belum ada jembatan. Kami harus menyeberangi sungai Mambi yang deras itu. Jika musim kemarau, airnya jernih dan bersahabat. Jika penghujan tiba, airnya kecoklatan dan membesar. Kadang kami harus membuka celana sekolah untuk menyeberang, jika airnya besar. Tinggal celana kolor yang harus basah untuk melindungi “sesuatu”. Teman perempuan mengenakan rok ganti saja. Akan tetapi, jika air sungai meluap, hari itu kami batal ke sekolah karena tidak dapat menyeberang. Hal ini kami lewati selama tiga tahun sekolah di Mambi. Itu artinya, setiap hari kami menempuh perjalanan delapan kilometer, pulang dan pergi.

Menyusuri Kenangan Masa Silam

Ketika mobil menuruni lembah Kalasumpiang, saya ingat lagi teman seperjalanan dulu. Hajir yang kini bekerja di Pelabuhan Samarinda, dikaruniai beberapa anak dari dua istri tersayang. Abang yang diangkat jadi polisi di Samarinda. Anaknya dua dari istri yang manis. Kami aktif ber-cating ria di facebook. Acang, kuliah di Universitas Muslim Indonesia Makassar (UMI), tetapi saat KKN di sebuah perusahaan di Pasir, Kalimantan Timur, ia meninggal bertabrakan dengan sepeda motor. Ia anak pintar dan agak pendiam. Tulisannya indah.

Mamuk yang kini bekerja di pantai Tarakan, Kaltim, sebagai pedagang minyak. Istrinya satu, anaknya dua. Ahi, sepupu sekali saya, yang juga jadi guru SD di Tanjung Selor, Kaltim. Ia mendalami agama dan saat bersua terakhir, jenggotnya bersih dan senyumnya ramah. Ia juga sudah menikah dan memiliki anak. Bia yang ceria, kini tinggal di Mamuju sebagai pengusaha jeruk yang sukses. Ada juga Lia yang kini bermukim di Topoyo, Mamuju. Anaknya sudah tiga, suaminya tetap satu. Saat bertemu di Polewali lebaran ini, ia sudah mengenakan jilbab. Mama Sandi, demikian ia dipanggil, ke Polewali untuk mengganti beberapa giginya yang sudah mulai rapuh. Matuang tau, katanya. Kita sudah tua, maksudnya.

Saya juga ingat Dakma yang kini jadi istri kakak saya, Salahuddin Gani. Dakma adalah siswi termungil dari Salubulung. Bersama kakak, mereka diberi anak lima oleh Tuhan. Tiga pria, dua wanita. Kelimanya mengikuti “bakat” ibunya: mungil semua. Immang adalah teman seperjalanan yang bertubuh kecil. Akan tetapi, sejak ia tinggal di Tarakan dan menggarap tambak, tubuhnya jadi lebih besar daripada saya. Ia pemain sepak takraw yang lincah dan gesit. Ia menikahi gadis dari Kampung Pada yang rupawan.

Saya juga tidak dapat melupakan Takbi, teman seperjalanan yang agak nakal. Hampir semua siswa laki-laki dari Salubulung, pernah berkelahi dengannya di perjalanan, kecuali Acang (alm.) dan Ahi. Ia sekolah di MTsN Mambi, kami di SMPN 1 Mambi. Hingga kini, Takbi masih dalam “proses” menyelesaikan perkuliahan di sebuah universitas di Kota Daeng, Makassar. Jika dihitung, mungkin ia sudah semester kedua puluh satu. Saat ketemu terakhir di Polewali baru-baru ini, sebuah masker tidak lepas di mulutnya, meskipun kita bercaka-cakap dengannya di ruang tamu. Ternyata ia menutupi gigi serinya yang patah akibat terjatuh dari motor.

Satu kelebihan saya dibanding teman-teman seusia saya yang sekolah di Mambi yaitu soal menulis surat cinta. Di antara teman-teman sebaya itu, sayalah yang dianggap paling menarik gaya bahasa surat cintanya. Makanya, semua surat cinta teman lelaki saya, sayalah yang membalasnya. Artinya, surat-surat itu, saya baca terlebih dahulu lalu kemudian menulis balasannya. Artinya lagi, rahasia teman-teman soal cinta monyetnya itu, saya ketahui semuanya. Sebagai imbalan jasa, saya mendapat secara cuma-cuma minyak rambut bermerek Rivon, Tancho, atau Minyak Kemiri.

Kini, anak-anak usia SMP tidak perlu khawatir akan sungai yang meluap. Sudah ada jembatan beton. Tidak perlu jalan kaki, karena sudah banyak pake motor. Soal surat cinta itu, mereka mungkin sudah tidak mengenalnya, karena sudah ada SMS yang lebih praktis dan cepat.

Akhirnya Sampai di Tanah Kelahiran, Salubulung

Assalamu Alaikum. Akhirnya kami sampai di Salubulung, tepat sebelum salat Isya dilaksanakan. Mobil berhenti tepat di depan rumah. Anak-anak berkopiah dan berkerudung datang mengerumuni mobil. Alhamdulillah, saya sampai juga di tanah kelahiranku. Kampung tempat dilahirbesarkan. Diasuh ayah dan ibu.

Papa Faiz lambik siola baine anna anaakna (Papa Faiz datang bersama istri dan anaknya). Demikian terdengar suara-suara. Ohhhh Faiz, kasallengngia todak. Faiz sudah besar, maksudnya. Kebahagiaan meluap dalam dada. Saya buka pintu mobil dan segera menyalami handai taulan yang datang. Ada Papa Farhan atau Salahuddin Gani bersama istrinya. Datang juga Papa Azisah bersama istrinya, kakak saya. Juga datang handau taulan, jamaah Masjid Nurul Hidayah yang bersebelahan rumah kami.

Salubulung adalah tanah spiritual pertama. Sejauh mana raga berkelana, di sana juga batin ini mengenang. Ia adalah bumi tempat saya dilahirkan. Darah saya yang pertama ditumpahkan. Darah kelahiran seorang anak manusia ke Bumi Allah. Di sebuah rumah panggung sederhana 35 tahun silam, azan pertama dan iqamah perdana berkumandang di kedua telinga saya. Di sana juga bahasa pertama dari ibu dan ayah masuk di telinga: bahasa Cinta! Di sana juga adalah tempat pertama kali saya melaksanakan ruku’ dan sujud. Di Masjid Nurul Hidayah menjadi tempat menunaikan sembahyang bersama teman sebaya. Di masjid ini juga belajar mengaji Al Quran dilaksanakan, memeriahkan malam-malam Salubulung sepanjang tahun. Salubulung-lah tempat saya menempuh pendidikan Sekolah Dasar.

Jika Salubulung adalah tanah spiritual pertama, Kendari menjadi kedua. Jika Salubulung menjadi pondasi seorang manusia dari bayi sampai remaja, Kendari menjadi tiang-tiang sebuah bangunan. Pondasi dan tiang kemudian bersatu membentuk rumah, Rumah Kehidupan. Adapun isinya adalah hasil dari pengelanaan atau pengembaraan lahir dan batin.

Memeluk dan Mencium Ayah yang sudah Tua

Memasuki rumah, saya mendapati ayah duduk di atas ranjang. Ia sudah tidak terlalu kuat lagi berdiri dan berjalan. Ia kini telah menggunakan tongkat untuk menopang jizimnya yang renta. Tuhan telah mengambil banyak limpahan nikmat yang pernah ia berikan padanya kurang lebih 85 tahun lamanya. Kusalami dan kucium tangannya, kukecup keningnya, dan kurangkul tubuhnya yang renta. Begitu pula istri saya, melakukan hal serupa. Faiz kududukkan di kedua pahanya yang pualam. Jika air mata adalah wujud bahasa Cinta, maka malam itu, bahasa Cinta mengalir dahsyat, disaksikan Sang Ramadan yang tidak lama lagi berangkat menuju haribaan Ilahi.

Bagi saya, pertemuan dengan ayah, kembalinya ke kampung halaman, berjumpa dengan saudara dan handai taulan ibarat berkah Lailatul Qadar. Sebuah kegembiraan dan kebahagiaan yang tak terkatakan. Samar-samar terdengar suara keok ayam. Ternyata, kami disembelihkan seekor ayam jantan, sebagai wujud kesyukuran. Demikianlah, maka pada Subuh hari, kami merayakan kebahagiaan itu dalam Sahur bersama.

Subuh harinya, kening kurekatkan ke lantai Masjid Nurul Hidayah bersama jamaah yang lain. Jika tidak belajar sembahyang dan mengaji di masjid ini, mungkin akan jadi kebingungan di negeri rantauan.

Pagi harinya, Faiz, anak saya yang berumur 3,6 tahun tiba-tiba merasa bebas bermain. Ia seakan mendapatkan lapangan luas tak berujung. Ia larut bermain dengan sepupu-sepupunya dan teman-teman sebayanya di Salubulung. Bermain bola di jalan tak beraspal, memburu bebek, mandi di sungai, dan ikut membuat kue di dapur. Ia begitu fasih memanggil teman barunya, Furkon, Ica, Fatur, Taufik, Fika, Fifa, si kecil Zabila dan Zaki yang ia sebut Adik Manis, Kakek Ambo (untuk kakeknya), dan lain-lain.

Ke Salumato, Kahaleang, dan Sawah

Hari pertama tiba di kampung, saya ikut kakak ke Salumato, yang berada di balik bukit hijau. Ia akan memberi makan ayam-ayamnya di sana, karena di kampung, ayam-ayam pada banyak mati akibat penyakit. Salumato tidak dapat dipisahkan dengan Salubulung, bagi kami sekeluarga. Di daerah yang diapit bukit ini, terdapat kali yang dialiri sungai yang langsung mengalir dari ketiak gunung. Pada tahun-tahun 1970—1980-an, saat musim paceklik mendera kampung-kampung, kami membuka lahan ini dan menanaminya dengan padi ladang. Sebuah gubuk bambu berdiri di tengah-tengah pohon coklat dan tanaman pelindung. Ibu adalah pekerja keras dan sangat ulet menghidupi delapan anaknya. Alhamdulillah ayah bekerja sebagai Kepala Sekolah di Madrasah Tsanawiah Mambi. Akan tetapi, gajinya kadang tidak selalu cukup menopang hidup selama sebulan. Namun, kondisi yang lebih parah mendera sebagian besar masyarakat yang terserak di berbagai kampung yang mengandalkan alam sebagai sumber kehidupan. Musim paceklik adalah sahabat setia yang selalu menemani sepanjang tahun. Inilah keadaan masyarakat selama berpuluh-puluh tahun di pelosok, dalam kekuasaan pemerintah Orde Baru Soeharto.

Tidak henti-hentinya saya mengucap rasa syukur di dalam batin, ketika menapaki jalan berbukit ke Salumato. Saya langsung menghirup udara segar dari hijaunya pohon-pohon. Saya kembali dapat melihat pohon popo, lemarra, lebanik, rakdak, dan pune.

Dada saya bergetar mendengar suara burung-burung hutan yang memilukan hati. Persis di atas puncak bukit, saya mendengar lagi suara burung Kedasih yang masyhur itu. Burung yang menggugah pena para pujangga menjelma syair yang indah. Belum usai suara sang kedasih, terdengar pula suara burung khas Salubulung, Tuo. Suaranya dibangun dari satu kata yang terus diulang, semakin lama semakin meninggi, menyayat hati. Beginilah bunyinya, tuo…tuo….tuo….tuo….tooooo. Suara burung kedasih yang menghasilkan kesan rindu dan suara burung tuo yang terluka, kni terus bergema dalam ingatan. Salah satu jenis burung yang identik dengan hutan Salubulung adalah burung Lohi. Suaranya juga khas, sebagaimana yang saya dengar di atas bukit, yakni berbunyi uuk…uuk…uuk. Dari segi makna bahasa kampung, “uuk” berarti “ia”.

Belum usai kebahagiaan saya mendengar suara burung, saya baru sadar dikelilingi bukit-bukit dan gunung-gunung yang hijau. Bukit yang hanya boleh dijamah tangan manusia dan gunung yang hanya disentuh awan-awan. Di hadapan saya, gerombolan pepohonan yang memelihara air di akar-akarnya. Di belakang, adalah bukit kokoh yang menyanggah keteduhan langit. Jauh di sana. Gunung Pepana dan Gunung Lemo yang menyediakan kakinya jadi perladangan dan pesawahan warga. Di bawah sana, kampungku Salubulung terasa jadi kecil di tengah maha besar Alam Raya. Salubulung hanya dipelihara 27 rumah warganya. Merekalah yang setia menghidupi dan memelihara kampung. Merekalah yang melahirbesarkan anak-anaknya, seperti saya ini. Di tengah kekaguman ini, segera kuabadikan momen tersebut melalui sebuah kamera. Mengawetkan sesuatu yang bakal fana.

Mendatangi Keluarga, dari Rumah ke Rumah

Tidak lupa saya mendatangi keluarga dari rumah ke rumah. Saya menanyakan kabar para orang tua yang renta itu lalu foto bersama. Saya menanyakan kesehatan dan kabar anak-anaknya di rantau. Saya ke rumah Mama Munni yang sudah ditinggal pergi sang suami. Ia sementara menyapu halaman rumah, di bawah pohon cengkeh yang besar. Saya ke rumah Mama Basi yang tinggal sendiri. Suaminya sudah meninggal di Pare-pare beberapa tahun silam, saat menjenguk anaknya. Ia tidak melihat suaminya meninggal dan dimakamkan. Saya ke rumah Indona Daeng, yang sudah meninggal pula bersama suaminya. Di rumah ini, tinggal dua anaknya bersama keluarga. Saya terhenyak ketika melihat tanah bekas gubuk Iba si janda tua. Berpuluh-puluh tahun ia tinggal sendiri di sini. Saya singgah di halam rumah Papa Roha yang sudah tua bersama istri. Beruntung, karena ada anaknya yang tinggal di kampung, yaitu Mama Wana.

Saya bersama istri lalu ke rumah Mama Imran.. Ini adalah rumah almarhumah tante saya yang akrab disapa Adila, yang juga sudah meninggal, bersama suami yang akrab disapa Ambo. Sedangkan bagi istri saya, ini adalah rumah kakek dan neneknya. Ambo adalah sosok berjasa dalam mengislamkan ratusan generasi di Salubulung dan kampung-kampung lainnya. Ia satu-satunya sosok yang menyunat anak laki-laki, termasuk saya sampai beberapa generasi setelah saya. Rumah Papa Sainal, Papa Dakma, Papa Wana, dan Papa Ogi tidak lupa saya kunjungi. Begitu pula rumah Tuangguru Papa Nussang, saya masuk bersama istri. Beliau adalah kepala sekolah sewaktu saya sekolah di SDN 1 Salubulung. Anaknya, almarhum Acang, adalah satu kelas dengan saya sejak SD sampai SMP. Istrinya baru saja meninggal dua bulan sebelum Ramadan. Anak pertamanya, Nursalam, adalah orang yang membawa saya ke Kendari mendaftar di Universitas Haluoleo tahun 1997.

Rumah Papa Eka juga saya masuki. Ada istri dan kedua anaknya. Ia bertetangga dengan rumah kakak saya, Papa Farhan yang bekerja di Topoyo, Mamuju, sebagai guru di sebuah Sekolah Dasar. Anak Papa Farhan berjumlah lima orang. Anak pertama, Farhan, baru masuk kelas satu SMA. Sedangkan yang terakhir, Zaki, baru setahun lebih umurnya. Di hadapan rumahnya, adalah bekas perumahan Papa Nakrung yang kini hijrah ke Topoyo, Mamuju. Istrinya meninggal di sana. Anak ketiganya, Anting, teman sepermainan saya ketika kecil dulu, juga meninggal di sana. Adalah rumah Papa Enni yang kini sudah kosong juga, di sebelah rumah kakak saya. Papa Enni dan istrinya sudah berpulang ke rahmatullah. Anak-anaknya kini tinggal di rantauan. Saya masih sempat ke kolong rumahnya, menghirup kenangan dan kefanaan.

Persis di samping masjid adalah rumah almarhum dan almarhumah Ambo Hajir dan Mama Hajir. Keduanya meninggal di Mamuju, daerah rantauan. Untung masih ada anaknya bernama Ali, juga sepermainan dulu, kini pulang kampung dan menggarap sawah peninggalan orang tuanya. Di sebelahnya adalah bekas perumahan Papa Sabil yang sudah rata dengan tanah. Pemiliknya kini bermukim di Polewali, sejak diangkat jadi PNS di sana. Salah satu rumah unik adalah rumah Ibu Hani karena bagian depannya diukir bermotif burung dan daun-daun. Sejak ditinggal pergi saudaranya, Manda, ke haribaan Ilahi lebih sepuluh tahun silam, ia kini tinggal sendiri ditemani ponakannya. Rumahnya yang besar dan halaman luas, mengesankan kesunyian.

Rumah Bakdu Lota, juga sudah kosong. Bakdu Lota dan keluarga memilih Kampuang Tanga (kampung tengah) sebagai tempat tinggal. Ia dikenal sebagai sosok yang ulet bekerja. Gabah satu karung goni ia pikul sendiri. Satu batang kayu besar ia pikul sendiri.  Dulu ia jadi terkenal karena terjun ke bisnis ora-ora yakni manusia mumi, yang ternyata palsu, membuatnya sempat masuk “DPO” pihak tertentu. Anak pertamanya, Ralli, meninggal dunia setelah terjatuh dari pohon rambutan, sekitar tahun 1995. Sayang sekali, saya tidak sempat bertemu dengannya. Padahal saya sangat akrab dan ingin mewawancarainya.

Di sebelah rumah Bakdu Lota adalah rumah keluarga almarhum dan almarhumah Ambena dan Indona Dira. Rumah ini kini ditinggali ketiga anak perempuannya, Lina, Sia, dan Jani. Mereka bertiga yang menjaga dan meneruskan warisan sawah. Anak pertamanya, guru mengaji kami dulu, Ibu Dira, membuat rumah sendiri bersama anaknya. Suaminya, Papa Enni, telah meninggal beberapa tahun silam. Ibu Dira adalah istri kedua Papa Enni, setelah istri pertamanya meninggal dunia. Saya terkesan ketika Mama Takdir, sapaan akrab Ibu Dira, menceritakan proses kematian suaminya. Suaminya yang sakit-sakitan pamit kepadanya untuk berobat ke Polewali. Sampai di Polewali, penyakitnya dan meninggal dalam perjalanan menuju Makassar.

Di samping rumah kami, terdapat bekas perumahan Papa Aco yang kini tinggal di Polewali. Kini sudah rata dengan tanah, tinggal bak mandi yang tersisa. Juga ada Loko Bolong (Lumbung Hitam) di depan rumahnya yang kini sudah reot. Saya juga singgah di rumah imam muda Masjid Nurul Hidayah, Muzakkir atau Papa Rahman. Ia adalah anak terakhir Ambena Dira. Suaranya yang indah nan merdu menjadi penarik tersendiri bagi warga untuk datang salat berjamaah.

Rumah Ambona Hama, suami dari tante saya, tidak lupa saya singgahi. Istri tercintanya meninggal sekitar setahun silam. Ia tinggal bersama anak perempuannya, Hakmi bersama keluarga. Di sana juga ada Mama Afdal dari Mamuju. Kami lalu bercerita ihwal kematian ibu saya dan ibunya. Kami memperbincangkan sebuah tema, kefanaan. Ritual mengunjungi keluarga juga dilakukan Papa Ryan yang banyak bertanya soal pa’neneang atau silisilah keluarga kepada tetua kampung.

Pembaca yang budiman, ketika saya meninggalkan kampung menuju Kendari tahun 1997, semua yang sudah meninggal di atas masih sehat wal afiat. Pada saat saya di rantau itulah, mereka kemudian dipanggil menghadap Sang Maha Kuasa, satu per satu.

Anak Rantau Berdatangan,MampapiaiPassadangan, dan Manggerek Saping Kamba

Dua hari sebelum lebaran, kakak Burhanuddin Gani dan Bayanuddin Gani, juga tiba di Salubulung. Mereka bersama cucu ayah kami: Ryan, Fitri, Kiki, dan Indra. Tidak lama, datang cucu dari Loka, Fadli, Alawiyah, Aco, dan Ikra. Kebahagiaan di mata Ambo semakin tampak.  Malam itu, di rumah kami dikaruniai kebahagiaan yang tidak dapat ditukar dengan sesuatu yang bendawi. Kebahagiaan dan pertemuan keluarga yang akan dikenang dalam waktu yang panjang.

Kebahagiaan itu juga dirasakan keluarga yang lain di Salubulung. Ambona Hama didatangi anak dari Samarinda dan Mamuju: Syamsul Mudir dan Jumiati. Ambokna Santi kedatangan ponakan dan iparnya dari Tarakan: Nenek Andar dan Hasan Basri. Mama Munni berbahagia karena anak pertamanya, Haidir, ikut hadir. Mama Basi yang sendiri, menjadi ramai karena Alling dan Adi datang dari Makassar. Papa Eka senang karena anak gadisnya, Eka, juga lebaran di kampung. Papa Nursalam sangat bahagia karena tiga anaknya dating jelang hari raya: Nukmi, Jaya, dan Fadli. Hampir semua anak Papa Roha juga datang di rumahnya. Itulah sebabnya ia berbinar-binar. Tuangguru Hakim cukup senang karena anak pertamanya, Sainal, S.Pd., yang mendalami agama di Makassar, datang di kampung. Nirwana juga dating yang membahagiakan ayah dan ibunya, Papa Wana dan Mama Wana.

Tentunya, selain ada yang berbahagia karena orang-orang tercintanya datang, juga ada yang sedih karena yang dinanti tak kunjung hadir. Tetapi yang paling diliputi kehilangan adalah mereka yang tidak menanti siapa pun datang, karena yang dinantinya telah “duluan” pergi ke “kampung” yang lain: haribaan Allah yang Maha Kuasa.

Alhamdulillah, Salubulung kini sudah terang pada malam hari oleh listrik, setelah berpuluh-puluh tahun diberi cahaya gratis oleh Tuhan: Bulan Purnama. Beberapa tahun silam, Almarhum Papa Munni—semoga Allah memberi  hidayah baginya di Alam Kubur—pernah merintisnya dengan mesin pembangkit tenaga listrik yang disambung ke rumah warga. Untuk pertama kalinya pula saat itu, warga menikmati sang kotak ajaib, televisi. Akan tetapi, sumbangsih yang mulia tidak bertahan lama. Nah, tahun 2011 lalu, Salubulung menerima proyek bantuan PNPM Mandiri berupa Pembangkit Listrik Tenaga Air yang menggunakan tenaga mesin turbin. Bulan purnama pun diganti menjadi balon “purnama”.

Nah, usai lebaran, hujan lebat mengguyur Salubulung. Passadangan atau bendungan yang menampung air pembangkit listrik, terhalang oleh pasir dan kayu. Warga pria pun berbondong-bondong memperbaiki bendungan dalam suasana gotong royong dan kekeluargaan. Di sana ada Papa Eka, Nussang, Jukda, Papa Farhan, Papa Ryan, Papa Dakmaliana, Papa Nisa, Amma Jalek, Papa Rahman, Papa Asizah, dan Daeng La Sigi. Pemerintah memberi bantuan, warga menjaganya. Sebuah kearifan khas kampung.

Salah satu peristiwa yang menyertai Lebaran kali ini adalah manggerek saping kamba atau menyembelih sapi mandul milik Papa Roha. Karena sang sapi sudah tidak mungkin memberi anak, maka pemiliknya menyembelih di seberang sungai. Kepada warga ditawarkan harga yang murah, seratus ribu per satu engeang atau tempat. Cara pembayarannya pun tidak mengikat, dapat diangsur sampai bulan November 2012. Semua bagian sapi ada di setiap tempat itu seperti tulang, daging, dan jeroan. Suasana penyembelihan sangat ramai karena selain disaksikan bapak-bapak, juga sebagian ibu-ibu, terutama anak-anak, dan sebagian balita. Kaki sapi diikat lalu dipegang dan ditarik beberapa lelaki kekar. Pak Imam Masjid bertindak sebagai tukang jagal dan sebagai imbalannya, ia mendapatkan secara cuma-cuma, panggere’ang, atau leher sapi bekas sembelihan. Ini adalah tradisi di kampung sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang menyembelih. Orang yang menyembelih pun tidak sembarangan. Kalau bukan pak imam, adalah orang yang “faham” agama.

Mamburak Bau di Loka

Mamburak bau adalah salah satu tradisi menangkap ikan di kampung sebagai suatu kearifan, menghargai kerabat yang datang dari jauh. Sehari setelah lebaran, kami ke rumah kakak, Nazaruddin Gani, di Loka, sebuah kampung berjarak lima kilometer. Bersama istri, ia telah memelihara khusus ikan mas, nila, dan lele untuk kami. Suasana sangat ceria dan penuh tawa saat menangkap ikan mas yang besar dan licin. Beberapa kerabat juga hadir memanfaatkan momen tahunan tersebut. Pagi itu juga, Bayanuddin Gani harus balik ke Kendari karena istri dan anaknya sakit. Ia pulang bersama keluarga kami yang lain, Nenek Andar dan Hasan Basri ke Tarakan, Kaltim. Suasana keberangkatan mereka diliputi rasa haru dan kehilangan. Rasa bahagia dan sedih menyatu dalam air mata yang sama. Mereka pulang kembali, kami berangkat ke Loka.

Loka adalah sebuah kampung yang secara kultural dan genealogis, tidak dapat dipisahkan dengan Salubulung. Orang tua ibu saya berasal dari Ibu kota desa Sondong Lajuk tersebut. Bahkan saudara nenek dari ibu saya, masih hidup sampai sekarang dan telah berusia lebih seratus tahun. Ia masih sehat wal afiat, dikarunia umur panjang Sang Ilahi. Saat bertemu dengan Mama Marda dan Mama Nalo, keduanya sepupu sekali ibu saya, keduanya menangis melihat kami dan mengenang ibu kami. Yah, mereka termasuk kerabat yang secara lahir dan batin sangat dengan kami. Tidak lupa, kami sekeluarga bersilautrrahmi ke rumahnya dan bercerita tentang masa silam, masa ketika semuanya masih hidup. Silaturrahmi juga kami lakukan ke beberapa rumah kerabat di sana.

Lebaran 1 Syawal Tiba

Geluruh takbir, tahlil, dan tahmid memecah angkasa Salubulung. Masjid Nurul Hidayah diliputi kebahagiaan. Sambil bertumpu pada tongkat, Ambo pun ke masjid, bersama-sama kami. Muzakkir menggelorakan suara indahnya sebagai imam salat yang berbahagia itu. Usai salat ia memimpin takbir. Jamaah mengikuti dengan suara yang penuh makna. Pagi itu, adalah pagi kemenangan. Tampil sebagai khatib Idul Fitri 1433 Hijriah adalah Burhanuddin Gani yang menyampaikan pesan-pesan kemenangan umat Islam pada 1 Syawal. Katanya, mengutip Qurais Syihab, kesucian pada hari 1 Syawal itu bermakna benar, baik, dan indah.

Jamaah kemudian saling bermaafan dan berangkulan. Tidak ketinggalan pula, air mata turut hadir menyaksikan kebahagiaan itu. Anak bersimpuh di hadapan orang tuanya. Para orang tua menerima permaafan dari anaknya. Cucu-cucu tidak lupa lekat dalam rangkulan nenek dan kakek. Menantu dan ponakan juga tidak melewatkan hari kemenangan ini. Mereka luruh dalam pelukan mertua dan paman-pamannya. Yah kehidupan memang singkat. Kebahagiaan pun tidak panjang. Lebaran adalah momentum untuk mengabadikan kefanaan, merekatkan jarak, merangkul waktu, dan melepaskan kerinduan.

Makanan terbaik dihidangkan. Hamba-hamba Allah menikmati daging ayam, burasa, bale tedong, dan suguhan kue-kue aneka warna, aneka rasa, aneka aroma. Hari itu tiada yang merasa lebih kaya, tiada yang merasa miskin. Semuanya luluh dalam kebahagiaan, dalam kemenangan.

Meskipun demikian, ada juga yang merasa kehilangan. Yakni bagi mereka yang tidak lagi lebaran bersama orang-orang terkasih: ayah, ibu, anak, dan cucu. Dan kami juga merasakan itu, bahagia di tengah rasa kehilangan seorang ibu dan kakak tertua, Hasanuddin Gani. Bagaimana yang kehilangan kedua orang tua, atau orang tua yang kehilangan anaknya? Ya begitulah, kebahagiaan dalam kefanaan.

Akhirnya, Hari Kepulangan Datang Juga

Jika ada pertemuan, ada pula perpisahan. Demikian sebuah pepatah lama yang hari itu juga kami alami dan amini. Rabu, 22 Agustus 2012, kami meninggalkan Salubulung, kampung kenangan, kampung kelahiran. Usai salat Subuh hari itu, kugunakan kesempatan untuk membaca  Kitab Syarah Rhadiatus Shalihin yang dibaca setiap Subuh, sebagai bentuk pertautan terakhirku dengan Salubulung dan warga. Isinya tentang cinta, kasih sayang, dan persaudaraan.

Mobil sudah menanti di jalan. Suasana haru melingkupi seisi rumah. Sejak pagi, mata Ambo berkaca-kaca. Ia pun sempat membacakan doa keselamatan dan keberkatan bagi kami, anak cucunya. Pertemuan dan kebersamaan terasa singkat saja. Akan tetapi, datang dan pergi adalah sebuah sunnatullah. Ia bagian dari gerak-gerik kehidupan dan perubahan umat manusia. Warga pun berdatangan ingin menjadi bagian dari perpisahan itu. Kilatan cahaya kamera mengabadikan suasana.

Salam-salaman dengan Ambo sudah dilakukan. Ambo yang sudah tidak terlalu sehat, sudah agak pelupa, dan pendiam, hanya mengantar kami dengan satu bahasa: bahasa air mata. Begitu juga dengan sesama warga, yang tak lain dan tak bukan adalah handai taulan, keluarga besar Salubulung.

Lambik borang koak le. Kalehai lolong kang kami kasi’ mai di kampung le.

Kalian datang lagi yah. Ingatlah selalu kami yang tinggal di kampung.

Demikianlah pesan-pesan saudara-saudara yang kami tinggalkan.

Kami masuk ke dalam mobil. Mesin dihidupkan. Ban mobil mulai bergerak. Lambaian tangan menyertai kami. Senyum kesedihan mengiringi. Doa-doa mengalir dari hati Ambo, juga saudara sekampung. Mobil semakin melaju saja. Salubulung pun kami tinggalkan. Jika ada rezeki, waktu, dan kesempatan tentu kita akan bersua lagi.

Selamat tinggal Salubulung. Selamat tinggal hutan dan bukitku. Selamat tinggal sungaiku. Selamat tinggal saudara-saudaraku. Selamat tinggal masjidku. Selamat tinggal…

Kendari, 1—4 September 2012




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline