Belakangan ini saat pulang sore dari kantor saya agak terganggu dengan program acara TV bernama Mikrofon Pelunas Hutang (selanjutnya saya sebut MPH) yang ditayangkan stasiun TV Indosiar. Sebenarnya saya jarang melihat tayangan tv lokal karena pulang kerja kerap larut malam. Namun beberapa kali pulang agak cepat dan mendapati ibu saya menonton acara MPH jadi iseng mengamati acara yang tayang tiap hari pukul 16.30 WIB ini.
MPH adalah adaptasi acara sejenis bernama Mic On Debt Off yang tayang di Thailand. Namun bentuk acaranya tak persis sama, disesuaikan kondisi sosial budaya Indonesia. Acara ini sendiri konsepnya adalah gabungan dari program reality show dengan talent show. Ada dua peserta yang akan berebut hadiah diujung acara. Mereka diadu kebisaan mereka dalam bernyanyi. Meski sekilas seperti talent show menyanyi, sungguh ini bukan program sejenis The Voice atau Indonesian Idol. Kalau program yang saya sebut terakhir memang mensyaratkan pesertanya bisa menyanyi dan itu yang jadi jualan program tersebut tiap pekannya.
Nah, di program MPH menampilkan nyanyian bukanlah jualan utamanya, karena sesungguhnya yang "dijual" adalah kisah sedih di hari minggu dari peserta MPH. Kedua kontestan yang berlaga adalah mereka yang terlibat hutang dan tidak bisa membayar. Mereka ada yang berlatar sebagai buruh, office boy, atau siswa SMA. Hutang yang harus dibayarkan biasanya jumlahnya lumayan besar, meski ukuran besar-kecilnya nominal hutang relatif nilainya.
Karena kondisi ekonomi yang tak memungkinkan maka kontestan tak bisa membayar hutang dalam waktu cepat. Dan di kontes ini mereka dibuatkan kisah "drama" yang tujuannya untuk memancing empati pemirsa dan juga juri tentunya. Misalnya, ada seorang tukang sol sepatu yang punya hutang belasan juta rupiah. Kalau dilihat secara ekonomi ia akan sulit mengembalikan hutang-hutangnya yang digunakan untuk membiayai hidup keluarganya. Di MPH, si bapak diminta menyanyi dan diinterview oleh pembawa acara Okki Lukman.
Acara ini memang dimaksudkan untuk mengurai air mata pemirsa yang melihatnya. Misalnya, selain kisah sedih kontestan, cara interview yang dilakukan Okki Lukman pun dibuat dengan gaya yang agak lebay dan mendayu-dayu. Ia kerap memainkan tone suaranya agar terkesan sedih, beberapa kali ia ikut pula menangis meski tidak sampai sesenggukan.
Kontestan yang didandani apa adanya, sepertinya sengaja dibuat seperti itu agar kesan 'miskinnya' dapat. Semakin bersahaja semakin kelihatan miskin, mungkin begitu logikanya.
Setelah menyanyi dan melihat tayangan video serta diinterview oleh host acara ini, 'suara' kontestan kemudian dinilai oleh juri yang kerap berganti. Juri berasal dari beragam latar seperti pesinden Soimah, penyanyi Titi Dj, musisi Pongki Barata hingga penyanyi Rio Febrian. Penilaian juri inilah yang akan menentukan nasib si kontestan, apakah akan maju ke tahap akhir dibayarkan semua hutang-hutangnya atau selesai sampai di tahap itu saja.
Untuk mendapatkan hadiah dibayarkan hutang-hutangnya, kontestan harus menebak mana satu mikrofon yang menyala dari jejeran mikrofon yang ada di hadapannya. Salah pilih berakibat hanya beroleh uang 1 juta rupiah. Tapi jika berhasil, semua hutang akan dibayarkan pihak penyelenggara.
Menurut saya acara ini terlalu lebay. Hanya ingin menjual kesedihan, kemiskinan kontestannya saja. Mereka (kontestan) memang tak diberikan hadiah selangit seperti mobil atau cash money tapi diiming-imingi hadiah berupa dibayarkan hutang-hutangnya. Tak ada nilai perjuangan dalam merebut sebuah mimpi. Sangat berbeda dengan program tv show seperti talent show Idol, Asian Next Top Model atau Master chef misalnya. Ada kompetisi bakat yang dipertunjukkan pada pemirsa. Sementara program MPH tak menampilkan apa-apa selain mengaduk-aduk emosi pemirsa, membuat juri simpati dengan kondisi ekonomi, hutang dan beban hidup kontestan yang didramatisir oleh produsernya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H