Anda pastinya pernah bermimpi, seperti halnya saya. Tapi mimpi yang satu ini bukan bunganya tidur. Tapi sebuah mimpi akan masa depan. Sebuah mimpi yang diupayakan, dirawat dengan berbagai cara hingga mewujud suatu saat kelak.
Namun sejauh mana kita mampu mewujudkan mimpi, itu persoalannya.
Kesuksesan buku Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi sebagai buku terlaris tak ada yang bisa menyangkal. Sederet penghargaan yang diterima penulisnya juga membuktikan ini bukan karya fiksi biasa. Sebagai buku, N5M memang menjadi karya yang menginspirasi banyak pihak. Bahkan belakangan dampak N5M mewujud dengan terbentuknya komunitas Menara yang juga melahirkan sekolah gratis bagi anak-anak tak mampu.
Setelah sukses sebagai karya sastra, N5M sekarang bisa dinikmati dalam bentuk film layar lebar. Saya termasuk orang yang agak cemas manakala ada karya sastra yang diangkat ke layar lebar. Imaji saya mengenai keindahan lokasi, percakapan yang 'dalam' kadang pupus setelah mewujud sebagai karya sinema.
Contohnya banyak. Bahkan karya monumental Khaled Hosseini, The Kite Runner yang begitu indah dalam bentuk novel, setelah dialihkan dalam bentuk sinema ia jadi kering dan garing. Banyak nuansa yang tak terungkap.
Itulah bekal saya saat mendapat undangan menyaksikan premiere Film Negeri 5 Menara di Blitz Megaplex Pacific Place Jakarta, pekan lalu (17/2). Bersiap kecewa andai film ini sangat jauh dari novelnya.
Namun saya sadar, novel dan film adalah dua medium seni yang berbeda. Sangat tak adil membanding-bandingkan keduanya. Novel bersandar pada imajinasi kata. Sementara film adalah karya seni audio visual yang dominan menjual gambar. Tak akan pernah sebuah karya film sama persis dengan cerita di novelnya. Sebab ada hal-hal tertentu yang membatasi visualisasi imaji penulis menjadi bahasa gambar.
Lalu, apakah film Negeri 5 Menara secara filmis gagal?
Saya bisa katakan tidak. Meski ada kritik di sana-sini, film ini menyampaikan pesan yang kuat tentang sebuah perjuangan. Tentang sebuah usaha keras mencapai tujuan.
Film ini juga sarat dengan nilai-nilai persahabatan, sebuah nilai yang mulai luntur, setidaknya di kalangan masyarakat urban. Persahabatan para sohibul Menara yakni antara Alif dengan Baso, Atang, Radja, Dulmajid, dan Said terjalin begitu indahnya. Perbedaan latar belakang budaya tak menghalangi perkawananan diantara mereka. Bahkan persahabatan itu dipertahankan hingga dewasa.