Lihat ke Halaman Asli

Syahzmil

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

Kekerasan Seksual dan Berbasis Gender (KSGB): Studi Kasus Perempuan dalam Konflik Rohingya

Diperbarui: 10 Desember 2023   18:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Latar Belakang 

Kekerasan Berbasis Gender (KBG) atau Gender-Based Violence merupakan tindak kekerasan yang didasari alasan gender individu ataupun menimpa gender tertentu di masyarakat. Perempuan kerap kali menjadi korban KBG karena pandangan patriarkis yang mengakar dan menghasilkan ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan. Mengutip UN Women (2023), terdapat beragam bentuk kekerasan pada perempuan, seperti fisik, seksual, psikologis, ekonomi, dan segala bentuk yang menyengsarakan perempuan. Dalam tulisan ini penulis akan lebih berfokus pada kekerasan seksual dan berbasis gender (KSGB) karena didalamnya mencakup kekerasan fisik dan seksual. Menurut Krause (2015), KSGB adalah tindakan pelanggaran keinginan individu yang didasari oleh gender melibatkan fisik, emosi, seksual, dan psikologis melalui percobaan dan ancaman. Adapun beberapa contohnya; pelecehan–kekerasan seksual, pemerkosaan, dan femicide (pembunuhan perempuan). 

Konflik etnis Rohingya di Myanmar menjadi salah satu contoh maraknya kekerasan secara fisik dan seksual pada perempuan. Situasi konflik pause and pounce yang berkepanjangan, menjadikan etnis Rohingya terbiasa atas situasi konflik dan mencari suaka (mengungsi) ke negara lain. Dalam konteks ini, perempuan terus menjadi korban baik selama konflik maupun situasi setelahnya—pasca konflik. Dalam bagian berikutnya, penulis akan menganalisis bagaimana kekerasan perempuan terjadi di konflik Rohingya.

Kerangka Konsep Double Burden Perempuan dalam Situasi Konflik

Double Burden atau ‘beban ganda’ merupakan situasi yang dialami perempuan ketika menjalankan kehidupan publik yang secara bersamaan perempuan harus memenuhi perannya di ranah domestik. Konsep besar ini dapat diterapkan dalam menganalisis berbagai fenomena yang dihadapi oleh perempuan, salah satunya situasi konflik. Pada umumnya, kekerasan perempuan mengalami peningkatan dalam situasi-situasi krisis, terutama saat konflik. Keadaan yang tidak stabil mendorong masyarakat dan nilai-norma tidak mampu menjamin pandangan setara antara perempuan dan laki-laki (Unicef, 2022). Kekerasan dalam konflik lahir karena hasrat laki-laki serta pandangan diskriminatif atas perempuan (Davies & True, 2015). Namun, apapun alasannya perempuan tetap berada di posisi paling dirugikan karena—baik selama konflik maupun setelah konflik —perempuan terus menjadi korban.  

Farr (2009) membagi beberapa alasan kekerasan perempuan dalam konflik—terutama KSGB—berdasarkan beberapa alasan. Pertama, tipe opportunistic merupakan kekerasan yang didasari pengambilan kesempatan pihak dominan untuk mengopresi perempuan. Kedua, woman-targeted adalah kekerasan yang menargetkan perempuan guna membatasi mobilitas dan hak otonomi mereka. Selanjutnya, Ethnic-targeted menjadikan perempuan sebagai korban kekerasan karena etnisitas yang dimilikinya. Terakhir, enemy-targeted merupakan situasi perempuan mengalami kekerasan karena ideologinya. 

Selesainya konflik bukan berarti menyelesaikan kekerasan pada perempuan karena ketimpangan relasi gender justru semakin parah (Krause, 2015). Status hegemonik laki-laki lama kelamaan menghilang di saat tuntutan domestik perempuan terus bertambah. Oleh karena itu, kekerasan digunakan sebagai justifikasi untuk mempertahankan status tersebut. Pola ini akan terus berulang karena kekerasan dinormalisasi dan dianggap menjadi sifat naluriah laki-laki. 

Berangkat dari penjelasan di atas, penulis berusaha menjawab pertanyaan, “Bagaimana perempuan menjadi korban Kekerasan Seksual dan Berbasis Gender (KSGB) dalam situasi konflik yang memposisikan perempuan di situasi double burden?”.

Konflik Rohingya

Rohingya adalah etnis muslim minoritas yang mendiami provinsi Rakhine, barat Myanmar, bersama etnis Rakhine yang beragama Buddha. Hidup dalam negara bermayoritas Buddha menjadikan etnis Rohingya sebagai kelompok marjinal yang mengalami persekusi secara sistematik dan kultural. Marginalisasi etnis Rohingya hingga saat ini belum kunjung selesai karena kuatnya keinginan pemerintah Myanmar untuk melakukan pembersihan etnis (ethnic cleansing). Korban jiwa terus berjatuhan bersamaan dengan perpindahan penduduk yang mencari pengungsian. Perempuan pun terus menjadi korban dari kekerasan seksual dan berbasis gender (KSGB) selama konflik. Tatmawada (militer) terus menggunakan strategi ethnic-targeted dan woman-targeted setiap kali konflik memanas. Selain menjadi sasaran menyebarkan ketakutan, penyerangan perempuan ditujukan menghambat pertumbuhan penduduk Rohingya (OHCHR, 2019). Pembunuhan atau perusakan organ reproduksi adalah contoh penerapan strategi ini. Guna memudahkan penjelasan, penulis membagi pola KSGB sesuai gelombang konflik; 2012, 2016, dan 2017

Gelombang konflik 2012 dapat dikatakan menjadi awal dari tragedi KSBG dalam konflik Rohingya di dekade ini. Stigmatisasi buruk pada etnis Rohingya sebagai teroris sekaligus kelompok ekstremis memicu etnis Rakhine melakukan penyerangan didukung oleh militer. Pada Juni 2012, 20 perempuan diculik ke pangkalan militer di Sittwe dan dijadikan budak seks selama berbulan-bulan. Pola semacam ini kembali terjadi pada Gelombang 2016 pasca penyerangan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) yang membunuh 9 aparat keamanan Myanmar (OHCHR, 2019). Sebagai balasan, “operasi pembersihan area” dimulai dengan menargetkan daerah Taungpyoletwea dan Maungdaw. Pemerkosaan secara massal dilakukan ketika para perempuan mengumpat dalam rumah saat penyerangan terjadi. Salah satu korban bahkan mengatakan, “lebih baik dibunuh oleh satwa liar” sebagai gambaran ketidakmanusiawian tindakan militer. Tidak berbeda jauh, Gelombang 2017 ditandai dengan “operasi pembersihan” yang merupakan respon dari penyerangan pos militer di perbatasan oleh ARSA pada Agustus 2017. Operasi ini dapat digolongkan sebagai genosida karena dilakukan secara sistematis oleh militer dan etnis Rakhine. Pola KSGB (pemerkosaan) sangat tergambar jelas ditujukan untuk menyebarkan ketakutan dan posisi menguatkan status Rohingya yang termarginalisasi. Pemerkosaan dilakukan tanpa melihat tempat, umumnya dilakukan saat perempuan berpisah dengan laki-laki atau di depan keluarga korban. Selain itu, para pelaku kerap kali menggunakan kekerasan selama proses pemerkosaan, bahkan tidak segan-segan untuk membunuh. Namun, tindakan paling tidak manusiawi dilakukan dengan meninggalkan bekas gigitan pada leher korban sebagai “penanda” sehingga dikucilkan masyarakat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline