Lihat ke Halaman Asli

Etika Kapitalisme dalam Islam

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tentang kapitalisme, sosiolog Max Weber yang sangat terkenal dengan bukunya The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, menilai bahwa Islam tidak menghasilkan kapitalisme. Tidak ada asketis dalam Islam, dan kapitalisme telah digugurkan dari kandungan Islam. Cerita miring tentang muslim juga kita dengar misalnya dari BB Harring, James L Peacock, Rosemary Firth dan Clive Kessler. Harring bahkan menyebut Islam sebagai pengganggu kultural (cultural intruder).Ada peristiwa-peristiwa kecil yang menarik , yaitu event dimana Rasul Muhammad SAW mencium tangan ummatnya. Maknanya jelas: ISLAM SANGAT MENGHARAGI PEKERJA KERAS.  Menurut referensi sejauh ini, tidak banyak peristiwa Nabi Muhammad SAW mencium tangan ummatnya.

Namun pendapat Weber dinilai tidak ilmiah. Kritik ini tidak hanya datang dari kalangan Muslim, bahkan dari kalangan sosiolog sendiri. Paparan Weber mengenai etika Islam tidaklah benar dan analisanya dangkal. Salah satu sosiolog yang mengkritik Weber adalah Bryan S. Turner. Weber dinilai memperlakukan dan menafsirkan Islam secara faktual sangat lemah tidak seperti ia menganalisa calvinismepada etika Protestan. Kritik lain datang dari Huff dan Schluchter yang menilai pencarian Weber tentang Islam belumlah tuntas.

Nurcholis Masjid pun sejalan dengan kritik ini. KelemahanWeber adalah karena ia mengumpulkan bahan-bahannya itu hanya dari disiplin sosiologi Prancis, padahal pada orang-orang Prancis itu sosiologi Islam belum terwujud, karena hanya hasil karya pribadi-pribadi para pejabat kolonial untuk urusan pribumi, peneliti sosial amatir, dan kaum Orientalis; bukan dari kalangan sosiologi. Itupun terbatas kepada kawasan Afrika Utara saja. Hal ini pun didukung Marshall G.S. Hodgson, seorang ahli sejarah dunia dan peradaban Islam dalam bukunya “The Venture of Islam”.

Jauh setelah karya Weber tersebut, muncul beberapa tulisan yang menyebut adanya “etika Protestan” di kalangan Muslim. Misalnya dari pengamatan di kalangan Muslim Turki. Mereka menemukan sekelompok pengusaha sukses Muslim di satu kawasan. Tulisan ini menyebutnya dengan kebangkitan karena adanya "Calvinist Islam."

Pertama adalah tangan sahabat Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Saat kembali dari sebuah perjalan, Nabi berjumpa dengan Sa’ad, dan memperhatikan tangannya yang kasar,kering, dan kotor. Ketika disampaikan bahwa tangannya menjadi demikian karena bekerja keras mengolah tanah dan mengangkut air sepanjang hari; serta merta Nabi menciumnya. Sahabat lain bertanya, kenapa baginda Rasulullah SAW melakukan hal itu. Rasulullah SAW pun menjelaskan, bahwa itulah tangan yang tidak akan disentuh oleh api neraka, pula tangan yang dicintai Allah SWT karena tangan itu digunakan untuk bekerja keras menghidupi keluarganya.

Pada persitiwa lain, Rasulullah mengulurkan tangannya hendak menjabat tangan Mu’adz bin Jabal.Saat bersentuhan, beliau rasakan tangan itu begitu kasar. Beliaupun kemudian menanyakan sebabnya, dan dijawab oleh Mu’adz bahwa kapalan ditangannya karena bekas kerja kerasnya. Rasul pun mencium tangan Mu’adz seraya bersabda, “tangan ini dicintai Allah dan Rasul-Nya, serta tidak akan disentuh api neraka”. Dua tangan ini dicium oleh Rasulullah SAW, manusia termulia, padahal tangan itu bukanlah milik seorang kaya, orang berpangkat, syeikh, kyai, atau guru. Bukan pula tangan yang digunakan untuk menciptakan dan menulis ilmu atau mengangkat senjata. Ia hanyalah tangan yang telapaknya melepuh dan kasar, buku-buku jarinya mengeras dan kapalan, dan warnanya hitam dan kotor; karena ia dipakai mencangkul, mengangkat, memotong dan menggenggam dengan kuat. Tangan karena pemiliknya bekerja keras.

Peristiwa terakhir adalah saat rasul mencium tanngan putrinya sendiri: Fatimah Az-Zahra. Ini bukan karena Fatimah adalah putri kesayangannya. Rasul melakukannya karena baru saja dilaporkan oleh sahabat yang kebetulan lewat di depan rumah Fatimah, betapa Fatimah telah bekerja sangat keras menggiling gandum di rumahnya untuk menyiapkan makanan bagi anak-anaknya yang terdengar menangis.

Mencium tangan, bagi sebagian kultur merupakan bentuk penghormatan sehari-hari yang lumrah. Ini adalah simbol penghormatan kepada pihak yang diposisikan lebih tinggi. Perkara mencium tangan pada sebagian ulama dipandang sebagai sunnah, meskipun berjabat tangan merupakan anjuran yang lebih kuat. Mencium tangan adalah bentuk ekspresi yang lebih emosional. Sebuah peristiwa menceritakan bagaimana dua orang Yahudi mencium tangan dan kaki Rasulullah karena kekagumannya atas kerasulan Muhammad SAW.

Begitu banyak bukti-bukti lain yang mementahkan pendapat Weber di atas. Semua dirangkum dalam buku sederhana dan dengan bahasa enak dibaca "Tangan-Tangan yang Dicium Rasul", penerbit Pustaka Hira, Jakarta. Sept 2011. (Buku Tangan-Tangan yang DICIUM RASUL http://syahyutialasan.blogspot.com/)

******

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline