Lihat ke Halaman Asli

Anggyyansyah YusufM

Mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang

Paradigma Guru: Pahlawan Tanpa "Tanda Apa-Apa"?

Diperbarui: 26 November 2021   12:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Masih dalam suasana peringatan Hari Guru Nasional yang jatuh pada 25 November. Banyak sekali ucapan dan twibbon menghiasi linimasa. Lalu, apakah Guru masih jadi profesi yang eksis dalam kerangka filosofi "mencerdaskan kehidupan bangsa?"

Banyak sekali pemuda Indonesia masa kini memandang bahwa profesi guru tidak masuk dalam prioritas. Padahal, mengutip kata Gita Wirjawan dalam video endgame di kanal youtubenya, "Di Korea dan Singapura, pendidik merupakan profesi populer yang jadi panggung kompetitif. Setidaknya para calon guru harus berasal dari 'top 5%' peringkat tertinggi di sekolahnya". Perbedaan yang signifikan ini bagaikan dua sisi mata koin.

Apalagi bila melihat pendidikan di Finlandia yang sampai saat ini menjadi acuan dunia. Bahkan disebut-sebut bahwa profesi dokter itu lebih mudah daripada menjadi guru di negara rumpun Skandinavia tersebut. Hal itu berdasarkan riset dari Sari Muhonen berjudul 'In Finlandia, it's easier to become a doctor or a lawyer than a teacher- Here's why'.

Rupanya, tingkat kompetensi seorang guru adalah kunci utama yang menghasilkan tingkat pendidikan yang baik. Seorang calon guru harus menjalani serangkaian proses seleksi yang terstandarisasi. Bahkan secara administratif, guru sekolah dasar harus lulusan S2, dsb.

Beberapa contoh dari negara-negara tersebut di atas tak bisa hanya jadi angin lalu. Untuk melakukan perbaikan memang tak bisa lepas dari proses membandingkan dengan negara lain, apalagi dalam hal mengubah paradigma untuk peningkatan kualitas pendidikan Indonesia.

Paradigma tentang profesi guru di negara lain memang sangat dihormati. Bahkan mereka sudah menunjukkan konsep digugu lan ditiru yang aplikatif. Artinya "guru" punya tempat di dalam struktur sosial masyarakat yang tentunya selaras dengan tingkat kesejahteraannya.

Bila melihat konsep pendidikan Finlandia yang mengutamakan tingkat kompetensi, maka perlu juga kiranya pemangku kebijakan di Indonesia untuk menaikkan juga tingkat kesejahteraan para guru. Karena, hal tersebut akan bisa mengubah paradigma masyarakat yang akhirnya diikuti dengan naiknya motivasi para generasi penerus bangsa untuk menjadi seorang guru.

Tingkat kompetensi tentunya akan lahir dari sebuah siklus yang kompetitif. Lalu siklus yang kompetitif juga bisa hidup oleh 'paradigma terhadap sebuah profesi' yang mensejahterakan.

 Lalu mengapa ungkapan Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa selalu jadi alasan klasikal yang melanggengkan ketidaksejahteraan profesi Guru? Apakah ungkapan tersebut harus berubah menjadi Guru: Pahlawan tanpa 'tanda apa-apa' terlebih dahulu? Supaya concern mengubah Paradigma bahwa Guru adalah profesi yang sangat penting menjadi lebih cepat terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline