Lihat ke Halaman Asli

Syahrul Syah

#YuyuMurthada

Corona: Malaikat yang Jatuh di Ruang Pendidikan

Diperbarui: 22 Juli 2020   18:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

CORONA ; Malaikat Yang Jatuh di Ruang Pendidikan

(Wajah Pendidikan Kita di Tengah Pandemi Covid 19)

Kecemasan akan masa pendidikan sudah berkali-kali dinyatakan oleh para pemikir (pendidikan), sinisme, satire, dan kredo yang menohok kenyataan praktik-praktik pendidikan muncul tanpa henti: deschooling society (masyarakat bebas dari sekolah) dari Ivan Illich, the end of school menurut Everett Reimer, pedagogy of the oppressed dalam pandangan Paulo Piere, dan the end of education kata Neil Postman.

Sekolah dianggap dan bisa jadi fakta, dimana sekolah kehilangan maknanya sebagai wahana pendewasaan bagi seluruh penghuni di dalamnya dan otoritas-otoritas yang memiliki kepentingan dan bersinggungan langsung dengan keberadaan sekolah. Kritik para pakarpun dilontarkan baik melalui media publik maupun tulisan-tulisan pada lembaran-lembaran buku bertemakan pendidikan.

Kata mereka, Apa bedanya sekolah dan penjara jika ruang-ruang kelas bagi siswa lebih mirip kerangkeng-kerangkeng; pintu yang tertutup ketika pelajaran berlangsung sehingga siswa kehilangan cakrawala optik alternatif, bangku bangku memaku tubuh para siswa supaya tidak sedikit pun bergerak dan -tentu saja- guru-guru berperan mirip seperti sipir penjara; marah jika dikritik, menolak usulan, membentak jika ada kesalahan.Terdapat juga orangtua yang acuh tak acuh dengan pendidikan anaknya yang menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah, namun berontak bahkan memenjarakan guru, jika anaknya diberi ganjaran yang tak lain merupakan bagian dari pendidikan terhadap kenakalan-kenakalan yang tak diketahui oleh orangtua di rumah, ditambah lagi pemangku pendidikan atau mereka yang memiliki otoritas dalam dunia pendidikan hanya memikirkan nasib diri dan jabatannya yang sewaktu-waktu akan dicopot oleh penguasa setempat jika tak memuluskan proyek-proyek pendidikan usulan "tuhannya".

Beberapa tahun belakangan ini, anarkisme lahir dari siswa, mulai dari tawuran antar pelajar, pembunuhan terhadap guru, pembulian di media sosial dan masih banyak lagi kasus-kasus anarkisme yang dilakukan --kita layak merenungkan ini dan tak hanya mengutuk-

Kini, kita pun bahkan dunia terhentak, dari kota Wuhan China, virus mematikan menyebar hampir ke seluruh Negara di dunia, tercatat yang paling banyak korban meninggal dan juga terinfeksi virus yang dikenal dengan nama corona ini. Mengapa siang terang dan malam gelap? Mengapa ada putih dan ada hitam? Mengapa ada bahagia dan ada duka? Jawabannya tergantung sudut pandang masing-masing manusia, namun satu hal yang pasti, yaitu segala sesuatu ada plus dan minus-nya, begitu juga dengan pandemi. Jika kita hanya melihat dari sisi yang negatif, dari kerugiannya, dari dampak buruknya, maka kita tak akan pernah bisa bangkit melalui masa-masa ini dengan segera. Ubah mindset, geser paradigma, dan kelolah hati serta pikiran menuju era berbasis tekhnologi.

Dengan adanya Corona "Malaikat Yang Jatuh di Ruang Pendidikan" membuat pendidikan kita berubah total, dari sekolah yang mirip sebagai penjara menurut para pakar dan sebagian siswa, kini dengan corona tak ada lagi pembelajaran di ruang kelas, tak ada lagi ocehan guru di hadapan kelas, tak ada lagi sikap anarkisme siswa, dan tentunya tak ada lagi guru yang dipenjarakan. Lebih dari itu corona membuat kita sadar akan pentingnya pendidikan untuk masa depan anak dan generasi bangsa ini. Sehingga Peran segala pihak sangat membantu kesuksesan dari proses pendidikan, bukan hanya menyerahkan tanggung jawab itu pada pendidik, pihak sekolah, universitas, lembaga pendidikan lainnya, serta civitas akademika lainnya, namun juga merupakan tanggung jawab orang tua dan pribadi dari masing-masing peserta didik sendiri.

Seyogyanya kita harus Saling support bukan malah saling menyalahkan atau saling melempar tanggung jawab antara pihak satu dan lainnya.Pada masa pandemi ini kita semua dituntut untuk bergerak maju dan mampu mengoptimalkan penggunaan kemutakhiran teknologi dalam proses edukasi guna mengembangkan diri sehingga peran pendidikan tidak akan mati meski di tengah pandemi. Waktu luang menciptakan kesempatan untuk mempelajari banyak hal baru yang dulunya menjadi list terakhir ketika kesibukan aktivitas di luar tak terorganisir, meningkatkan keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak yang dulunya orang tua cenderung hanya "lempar tangan" kepada pihak sekolah ataupun pendidik atas pendidikan anaknya, timbul berbagai inovasi dalam proses pembelajaran, memunculkan kolaborasi antarlini yang dulunya mungkin belum bisa terealisasi, serta keterlibatan keluarga dalam memberikan support system bagi ekosistem pendidikan yang dulu mungkin sempat terlupakan.

Namun, disisi lain Pembelajaran daring atau online harus memiliki sarana yang memadai, banyak yang memiliki handphone tetapi tidak support internet atau aplikasi aplikasi yang diperlukan, sehingga baik sekolah, guru dan siswa memerlukan sarana dan prasarana yang benar benar support. Sedangkan kenyataannya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja  sangat sulit dipenuhi dalam situasi seperti saat ini.

Kebutuhan jaringan internet, banyak sekolah, guru dan siswa yang sulit mendapatkan jaringan internet yang stabil bahkan ada yang masih belum terjangkau oleh jaringan tersebut, letak geografis tempat tinggal guru dan siswa berada pada posisi yang susah mendapatkan jaringan internet walaupun ada, sering tidak stabil sehingga menjadi kendala yang tidak bisa dipisahkan dari pembelajaran moda daring yang kini banyak di pilih oleh sekolah-sekolah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline