Tahun politik, begitulah orang menyebut rutinitas lima tahunan pemilu. Penyebutan ini seolah-olah menegaskan bahwa politik itu hanyalah peristiwa musiman, tatkala gerombolan anak-anak manusia dari berbagai warna berebut kursi panas. Pada batas tertentu musim itu pun berlalu pergi, meninggalkan para penikmatnya yang kembali kesepian. Fenomena ini sesungguhnya menjelaskan pula betapa perhelatan pemilu bukanlah menjadi milik dari rakyat sepenuhnya, melainkan milik segelintir orang saja. Karenanya, demokrasi tidak pernah mengejawantah dalam kehidupan rakyat kita. Fakta yang sesungguhnya adalah oligarki yang terus-menerus didendangkan yang ironisnya turut dinikmati oleh pemegang kedaulatan itu sendirinya.
Kampanye merupakan instrumen demokrasi untuk lebih memberikan pencerahan kepada rakyat Indonesia tentang eksistensi lembaga politik sebagai pejuang aspirasi rakyat. Sehingga kampanye yang baik sedapat mungkin menyampaikan pesan yang tepat bagi rakyat yang bersifat mencerdaskan. Dalam konteks ini model dan materi kampanye mesti menjadi perhatian partai politik, sehingga ada jaminan bahwa media kampanye benar-benar mendekatkan partai politik dengan pemilihnya.
Dangdut dan Penggalangan Massa
Keseharian masyarakat di negeri tercinta ini sungguh akrab dengan musik dangdut, bahkan telah dianggap sebagai musik khas Indonesia. Tak berlebihan sebuah ungkapan bahwa Dangdut is music of my country. Sebagai sebuah kekayaan bangsa, dangdut menjadi salah satu identitas seni nasional kita. Pada sisi yang lain, eratnya hubungan emosional masyarakat kita dengan musik dangdut ini kerapkali menjadi pintu masuk yang sangat efektif dalam melakukan pengumpulan massa, salah satunya dalam perhelatan kampanye politik. Para seniman dangdut menjadi sasaran penting kontestan politik, terutama mereka yang memiliki penggemar yang relatif besar secara nasional. Singkatnya, musik dangdut sangat efektif dalam rangka melakukan pengumpulan massa yang besar disebabkan kedekatan kuat masyarakat dengan musik ini.
Pertanyaannya, apakah kegemaran berdangdut masyarakat Indonesia itu akan berkorelasi positif dengan sukses kampanye sebuah partai politik?. Dalam beberapa kesempatan, penulis sering bertanya kepada massa yang mengikuti suatu kampanye, yang biasanya kami tanyakan tentang apa saja yang diperoleh saat ikut kampanye. Umumnya mereka menjawab bahwa bahwa: yang hadir artis lokal, artis nasional, ada tokoh nasional yang sering muncul tivi, kampanyenya ramai dengan joget, bagi-bagi kaos dan duit. Sulit menemukan massa kampanye yang ingat tentang program partai yang kampanye itu. Apalagi jika ditanya, apakah akan memilih partai itu? jawabannya belum tentu. Bukan rahasia lagi bahwa massa yang hadir pada kampanye partai wortel hari ini, besoknya mengikuti kampanye partai kentang. Artinya, kehadiran massa pada suatu kampanye umumnya didasari kegemaran "berpesta" maupun iming-iming materi.
Realitas ini harusnya membuat kita makin sadar bahwa fungsi utama kampanye adalah wahana mengkomunikasikan gagasan-gagasan partai tentang bangsa ini secara utuh. Sehingga kehadiran massa besar di arena kampanye dapat digunakan sebanyak-banyaknya untuk memberikan pendidikan politik yang baik, bukan sebaliknya disuguhi oleh semangat hura-hura maupun perpanjangan mental pragmatisme, ataupun bahkan tontonan erotisme. Jika ini terus berlanjut maka momentum kampanye tidak akan pernah memberi nilai tambah yang berarti, selain keterpisahan yang semakin jauh antara kontestan politik dengan konstituennya.
Semoga kita semakin banyak belajar....Wassalam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H