Lihat ke Halaman Asli

Libya Pasca Rezim Khadafi

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasca terbunuhnya Kolonel Moammar Khadafi (10/11), stabilitas politik, ekonomi dan situasi keamanan Lybia masih mencekam. Belum banyak yang bisa dilakukan oleh Dewan Pemerintahan Transisi Nasional Libya (NTC), sebagai pemegang pemerintahan sementara.

Persoalan seputar jasad Khadafi, dikuburkan oleh siapa dan dimana, masih menjadi tanda tanya. Dewan Pemerintahan Transisi Nasional berusaha menghindari polemic dan konflik kepentingan intern dalam Libya. NTC juga tidak mau mengambil resiko yang kemungkinan bisa menyulut perang saudara di Libya.

Setelah memerintah Lybia selama kurang lebih 42 tahun, Khadafi akhirnya ditaklukan oleh kaum revolusioner di daerah kelahirannya, Sirte, Libya. Kolonel yang dikenal sebagai sosok yang diktator itu, meninggal di tangan rakyatnya sendiri, kaum revolusioner Libya.

Kini, jasad Khadafi masih di tangan pemerintah Dewan Transisi Nasional (NTC). Pihak keluarga Khadafi berusaha melobi pemerintahan sementara, agar jasad Khadafi dan kedua putranya, dikembalikan kepada mereka. Pihak NTC pun tidak keberatan, asal jasad tersebut dikubur di tempat yang rahasia dan tidak diketahui oleh masyarakat umum.

Setelah rezim Khadafi runtuh, Libya kini memasuki babak baru dalam percaturan politik, ekonomi, sosial dan semua aspek kehidupan. Namun, baru beberapa hari setelah Khadafi meninggal, muncul persoalan baru di tengah-tengah masyarakat. Kaum revolusioner Libya mulai terjebak dalam perseturuan baru, yaitu perebutan kekuasaan, tahta dan harta. Ada beberapa pihak yang berusaha memamfaatkan situasi yang masih belum kondusif ini, untuk kepentingan mereka. Maka wajar, jika beberapa oknum, termasuk kaum revolusioner, tak lagi mementingkan moralitas, etika dan humanisme. Konflik kepentingan seolah mengaburkan cita-cita revolusi yang selama ini diusung oleh para pejuang tersebut.

Belum lagi, adanya intervensi dari negara lain. Terang-terangan, diplomat Amerika Serikat, Paul Bremer, menawarkan kerja sama kepada masyarakat Lybia dalam proses transisi pemerintahan. Dia melihat adanya kesamaan antara revolusi Lybia dan Irak. Revolusioner Libya butuh 8 bulan untuk melumpuhkan rezim Khadafi. Pasukan Amerika dan sekutunya juga butuh 8 bulan untuk melumpuhkan rezim Saddam Husain di Irak.

Belum diketahui secara pasti, kerja sama apa yang maksud oleh diplomat Amerika itu. Namun bisa ditebak bahwa tawaran itu tak lain adalah upaya untuk mengintervensi politik dan ekonomi Libya yang sedang carut marut.

Sementara itu, Dewan Transisi Nasional Libya (NTC) yang bertugas sebagai pelaksana harian pemerintahan Libya, terus berbenah dan berusaha mengadakan pemilihan umum secepatnya. Dengan situasi politik dan ekonomi yang masih labil, dikhawatirkan terjadinya perang saudara di Libya. Sebagaimana diketahui bahwa Libya adalah negara yang terdiri atas beberapa kabilah, suku dan agama. Tidak mustahil, situasi yang tidak kondusif ini akan semakin parah, jika pihak NTC kurang tanggap dengan aspirasi masyarakat yang ada.

Mahmud Jibril, Perdana Menteri Transisi Libya, menegaskan bahwa pemeritahan sementara Libya akan segera melaksanakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, yang bertugas untuk merevisi undang-undang yang ada, sekaligus membuat undang-undang baru. Jadi, bisa dipastikan bahwa pemerintahan baru Libya, paling cepat akan diketahui sekitarnya 8 bulan dari sekarang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline