Lihat ke Halaman Asli

Patron dan Klien di Instansi Keagamaan

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah patron dan klien sering kita dengar dalam kajian Antropologi budaya. Peneliti/antropolog menggunakan istilah ini, sebagai teori untuk mengurai paradigma strukturalis-fungsionalis. Patron-klien merupakan suatu bentuk relasi yang saling menguntungkan antara kedua pihak. Patron biasanya direpresentasikan sebagai orang yang lebih, dalam segala hal, dari si klien. Olehnya itu, fungsi umum patron adalah menjamin keselamatan, kebutuhan dan keperluan klien, sedangkan klien membantu patron mencapai targetnya dan terkadang juga untuk memperlancar usaha si patron. Kehadiran klien sangat membantu patron dalam kehidupan sehari-hari, begitu pula sebaliknya, patron sangat membantu klien untuk memenuhi kebutuhannya.

Sebagian orang, mengkorelasikan hubungan ini sebagai relasi antara bos dan anak buah. Namun, sepertinya korelasi ini sepenuhnya kurang tepat, karena istilah bos dan anak buah, seolah mengindikasikan penguasaan hak seseorangatas yang lain. Dalam patron-klien, bisa dikatakan posisi keduanya sejajar, karena didasari oleh ikatan yang saling menguntungkan, sekalipun posisi atau jabatan patron lebih tinggi dari klien. Lebih jelasnya, kita bisa lihat dari contoh berikut. Patron memberikan sesuatu seperti; modal, barang, atau jaminan keamanan kepada klien, dan klien membantu patron mengawasi atau bahkan menjatuhkan lawan/saingan politik atau ekonominya. Singkatnya, patron terkadang memberikan sesuatu yang bersifat material sedangkan klien berupa jasa. Jadi, hubungan keduanya didasari atas dasar saling membutuhkan

Hampir seluruh masyarakat di berbagai belahan dunia menggunakan sistem patron-klien dalam interaksi sehari-hari mereka. Di Indonesia, hubungan patron-klien sangat kental dan terkadang tidak disadari. Perekrutan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di instansi pemerintah, bisa menjadi contoh yang nyata. Terkadang, seorang pimpinan/kepala devisi berusaha menjaring seseorang yang bisa mendukung dan menjadikan jabatannya tetap eksis. Sehingga, muncullah beberapa faktor yang dijadikan standar dalam seleksi tersebut. Misalnya; cenderung memilih orang yang berasal dari ideologi yang sama, dari partai yang sama, dari kampung yang sama, dari suku atau ras yang sama atau bahkan berasal dari keturunan yang sama. Tujuannya sangat jelas, diharapkan menjadi penyokong atau pendukung jika terjadi gesekan posisi jabatan dikemudian hari. Si pendukung pun tahu, seperti apa mereka harus memperlakukan orang yang telah berjasa padanya. Sepertinya, faktor-faktor ini sudah menjadi dogma dan praktek doktrin yang sulit dihilangkan di beberapa instansi.

Patron-klien sudah menjadi penyakit yang mewabah ke seluruh instansi negara, tidak terkecuali instansi keagamaan, seperti; Departemen Agama (Depag) dan Universitas Islam Negeri (UIN). Sebagai instansi yang diharapkan menjadi pelopor bagi terciptanya keadilan dan kejujuran, Depag malah menjadi sarang berkembangnya fanatisme mazhab ala patron-klien. Sudah jadi rahasia umum, ketika ada penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Departemen Agama, identitas Nahdatul Ulama (NU) sangat dikedepankan/diproritaskan dari pada identitas Muhammadiyah dan ormas Islam yang lain. Bahkan ada animo yang tersebar luas di masyarakat bahwa Depag adalah tempatnya atau sarangnya orang-orang NU, departemennya NU. Maka tidak mengherankan jika kemudian, hampir semua jabatan-jabatan strategis di Depag, dibawah kendali orang-orang NU. Patron-klien dengan identitas NU sangat menunjang karir bagi orang-orang NU di Depag.

Ini juga berimbas pada penetapan awal bulan Ramadan dan satu Syawal. Depag sebagai representasi pemerintah, beberapa tahun terakhir ini, senantiasa berbeda pendapat dengan ormas Muhammadiyah. Depag yang identik dengan NU seolah tak mau akur dengan Muhammadiyah dalam hal ini, begitu juga sebaliknya. Lalu, system keberagamaan menjadi persoalan yang sangat politis. Saya khawatir, di akhirat kelak, masalah surga-neraka juga bisa dipolitisasi.

Lain lagi dengan Universitas Islam Negeri (UIN), merasa diri kurang bisa bergerak bebas dan berkuasa penuh di lingkungan Depag, Muhammadiyah, sebagai ormas Islam terbesar kedua di Indonesia, malah menjadikan UIN sebagai basis untuk mengembangkan dan memperluas ormasnya. Dimana-mana, UIN identik dengan Muhammadiyah. Jabatan-jabatan strategis pun dipatok dan dijadikan sebagai basis untuk memperluas massa dan mencari dukungan. Maka, tak heran jika kemudian ada seleksi dosen atau pegawai di UIN, identitas Muhammadiyah sangat berperan bahkan diproritaskan. Instansi ini sudah dijadikan sebagai sarang patron-klien oleh pihak Muhammadiyah.

Depag dan UIN representasi dua lembaga agama yang sangat kental dengan patron-klien. Masih banyak lagi lembaga pemerintah yang sarat dengan sistem patron-klien. Identitas sangat berperan dalam pembentukan patron-klien. Penulis tidak menilai sistem patron-klien kurang bagus, namun seharusnya profesionalisme juga perlu mendapat apresiasi dan tempat yang sangat strategis di semua instansi dan lembaga pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline