Lihat ke Halaman Asli

Kisah Ali Jaka (11)

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ali Jaka mengirimkan email kepada Prof. Jonky. Begini isinya:

Prof., untuk narsum buat studi kasus sudah saya dapatkan. Nama pemilik tanahnya, Haji Maih. Saat ini dia benar-benar dalam kondisi bahaya. Ada informasi, dia akan menjadi target pembunuhan hanya karena dia menolak menjual tanahnya kepada pengembang. Pengembang yang dimaksud bernama PT. Pigland, Tbk. Hanya yang perlu saya tahu lebih lanjut ialah soal bagaimana masyarakat bumiputera semacam Betawi mengalami proletarisasi sedemikian rupa. Tolong penjelasannya, Prof.

AJ

Wedang jahe datang diantarkan oleh Konrad, ayahnya. Ali Jaka yang sedang memelototi laptopnya, hampir tidak menyadari kedatangan Konrad ke kamar tidurnya.

Hari masih remang-remang. Subuh baru saja berlalu. “Bagaimana, ada masalah dengan skripsimu?” tanya Konrad.

“Tidak ada masalah, Yah.”

“Kalau ada masalah, bilang sama ayah.”

“Saya penasaran bagaimana proletarisasi pada masyarakat bumiputera semacam Betawi dapat berlangsung tanpa koreksi,” ujar Ali Jaka kepada ayahnya.

“Proletarisasi di Indonesia memiliki akar sejarah yang menjulur hingga ke era kolonial bangsa-bangsa Eropa di Indonesia. Bangsa Eropa membawa sistem penjajahan yang baru dan berbeda dengan sistem penjajahan umat manusia yang pernah ada. Penjajahan kuno misalnya, lebih sebagai operasi penaklukan dan perluasan teritorial. Sedangkan penjajahan bangsa Eropa menerapkan penghisapan secara sistematis dan mengubah cara ekonomi bangsa-bangsa yang dijajahnya. Dari yang sebelumnya sebagai bangsa merdeka dan berdaulat secara ekonomi, karena sebelumnya masing-masing penduduk memiliki tanah untuk ditanami pangan, dan mengambil hasil hutan pun sesukanya secara bebas, berubah menjadi terikat dan dipaksa. Penjajah yang datang dari Utara itu menerapkan pemerasan dan penghisapan penduduk dan hasil buminya yang tidak ada taranya dalam sejarah kemanusiaan. Pada saat yang sama, sistem industri yang massif dan represif mereka hadirkan, dan orang-orang dihalau berbondong-bondong untuk menopang industri itu, maka akibatnya terjadilah proletarisasi masyarakat bumiputera. Penjajahan muncul seiring dengan maraknya industri di Eropa. Tanah milik bumiputera untuk lahan pangan dan pemukiman dirampas oleh penjajah secara sistematis. Oleh penjajah disulap menjadi pabrik-pabrik. Tahu apa arti pabrik-pabrik itu secara sosiologis? Pabrik-pabrik tersebut adalah motor dari revolusi cara hidup bumiputera, dari yang sebelumnya relatif berada, berubah menjadi kehilangan segalanya. Bumiputera kehilangan tanahnya, kehilangan kebiasaannya, kehilangan kebudayaannya, kehilangan kedaulatannya, kehilangan harga dirinya, kehilangan semua-muanya. Terserap dan tersedot oleh mesin pabrik itu. Mendadak mereka terproletarisasi. Secara drastis bumiputera itu terlucuti aset-asetnya, dari aset tangible, seperti lahan, hingga aset yang intangible, seperti tradisi, pengetahuan dan kebudayaan. Pengetahuan tentang bercocok tanam dan tanaman rempah-rempah yang menjadi bagian dari habitat bumiputera hilang diserap oleh mesin pabrik,” urai Konrad panjang lebar.

“Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa tersebut ke Nusantara, bukan tidak ada bangsa-bangsa lain yang datang dan mengambil manfaat dari Nusantara. Bangsa India, Cina, Arab dan Persia adalah contohnya. Tapi coba pikirkan, mengapa cuma bangsa-bangsa Eropa itu, seperti Spanyol, Portugis, Belanda, Prancis, dan Inggris saja yang kita sebut penjajah? Kenapa bangsa-bangsa India, Cina, dan Arab tidak kita bilang sebagai penjajah, bahkan mereka dapat dengan tentram menikmati hidup di Nusantara? Itu karena mereka tidak melakukan pemerasan dan penghisapan seperti halnya bangsa-bangsa Eropa itu. Sialnya, kita bumiputera Nusantara, mengira bangsa Eropa layaknya bangsa India, padahal sebaliknya. Saat bumiputera terperdaya dan terperangkap dalam cengkeraman penjajah Eropa, mereka selamanya tidak bisa melepaskan cengkeramannya. Hingga sekarang. Meskipun kelihatannya cengkeraman penjajah itu kendur, sebenarnya cengkeramannya tidak pernah lepas total. Boneka-boneka penjajah yang warna kulitnya coklat tapi isi kepalanya kolonialisme, mereka tanamkan di berbagai sektor kehidupan bumiputera sampai beranak-pinak hingga menjadi mapan menjadi kelas sosial tersendiri sebagai parasit terhadap bumiputera lainya,” lanjut Konrad.

“Dari mana Ayah tahu penjelasan semacam itu?” tanya Ali Jaka.

“Dari buku-buku yang dikarang oleh kaum penjajah sendiri maupun oleh kalangan bumiputera,” jawab Konrad, “Kembali kepada soal proletarisasi bumiputera, seperti orang-orang Betawi tersebut. Pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan itulah yang menjadi faktor asal yang membuat mereka terproletarisasi. Kau bisa observasi sendiri sekarang ini di pinggiran Jakarta, wilayah mana masih banyak bumiputera Betawi memiliki lahan. Dengan tumbuhnya pabrik di sekeliling mereka, dengan serta merta permintaan terhadap lahan meningkat drastis, baik untuk perumahan komersial maunpun untuk investasi bagi orang-orang kaya perkotaan. Di saat yang lain, kehidupan ekonomi masyarakat yang semakin tergantung dengan uang dan tertekan, tanpa menunggu waktu lama, bumiputera Betawi tersebut melepas tanah-tanahnya. Sayangnya negara tutup mata dengan penderitaan bumiputera tersebut. Bahkan yang menyedihkan, bumiputera yang asalnya berada itu, makan tinggal panen, mau bangun rumah tinggal tebang pohon dan bambu, mau pergi tinggal ambil kuda atau kerbau, mau makan ayam tinggal ambil di kandang, sekarang tak ada lagi. Hutan sudah ludes dibabat orang luar. Mau taruh kandang ayam, lahan pekarangan sudah habis dibeli orang-orang pendatang. Mau panen padi, sawah sudah disulap jadi pabrik dan perumahan. Yang tersisa cuma sepetak rumah untuk berlindung dari hujan dan terik. Bumiputera benar-benar termiskinkan secara sistematis. Kepemilikan aset bumiputera benar-benar merosot. Begitulah proletarisasi bumiputera terjadi dengan tragis tanpa ada satu kekuatan politik pun yang peduli. Dan kau tahu Ali, tercekik oleh rentenir dan bank, merupakan jalan tol menuju proletarisasi total. Kini bumiputera sudah banyak yang menjadi pengontrak, akibat tekanan ekonomi yang mereka hadapi. Tamu di kampungnya sendiri.”

“Yang menyakitkan, orang-orang hasil didikan kolonial dari bumiputera yang banyak bercokol sebagai pejabat menuduh bumiputera pemalas dan tidak sanggup berkompetisi. Apanya yang pemalas? Masalahnya ialah bumiputera tidak siap menghadapi situasi dan nilai-nilai yang bukan milik dan impian mereka. Bumiputera dipaksa hidup dalam habitat yang tidak mereka maui. Habitat bumiputera adalah kebercukupan yang disyukuri. Mereka hidup berkecukupan atas segala-galanya. Karena hasil alam melimpah untuk mereka. Itulah mengapa mereka bekerja tidak perlu tergopoh-gopoh. Tidak ada batas waktu yang mengejar-ngejar mereka seperti halnya orang-orang Eropa yang didikte oleh pergantian musim, dari musim dingin hingga musim panas. Wajar kalau bumiputera hidup dengan santai. Jadi keliru mengatakan orang bumiputera sebagai orang pemalas. Sebab pemalas yang mereka maksud ialah bekerja secara teratur dengan target dan waktu yang sudah ditentukan oleh majikan. Persis seperti mesin. Mereka hanya bekerja sesuai panggilan nurani saja. Kalau hati lagi cocok, mereka bekerja. Hasil karya bumiputera kau tahu seperti apa? Sempurna, memuaskan, bercita rasa seni tinggi, meskipun menyita waktu yang lama. Pernah kau dengar bagaimana seorang empu menyelesaikan sebilah keris? Kadang-kadang butuh berbulan-bulan, tapi lain waktu, bisa cuma hitungan hari. Itulah bumiputera. Sekarang cerita bumiputera yang bekerja sesuai aturannya sendiri, sudah tidak ada lagi. Kini mereka dihadapkan antara bekerja dengan tunduk pada aturan majikan asing atau mati kelaparan. Jadi ibaratnya, bumiputera seperti ikan air tawar yang dipaksa hidup di air laut. Mana mungkin bisa. Kegeniusan bumiputera tidak tersalurkan secara wajar pada habitat industrial kapitalistik yang mereka masuki. Pantas saja bumiputera menjadi bahan eksploitasi orang-orang luar. Kecuali mereka mengingkari kepribadian asli mereka dan menukar kepribadian sepertin orang-orang luar yang suka eksploitasi. Sekarang, bumiputera eksploitator ini sudah tumbuh di mana-mana,” papar Konrad panjang lebar.

Ali Jaka tertegun lama sambil merenungkan paparan ayahnya mengenai proses proletarisasi bumiputera. Maklumlah, ayahnya, merupakan praktisi sosiologi yang telah lama malang melintang di dunia penelitian sosial.

“Jadi menurut ayah, bumiputera pewaris sah nusantara, harus dilindungi oleh negara terhadap harta pusaka mereka, seperti tanah, tradisi, seni, dan pengetahuan mereka?” tanya Ali Jaka.

“Ya. Bumiputera yang sudah terampas tanah-tanahnya, harus diganti oleh negara, kalau memang tidak bisa lagi dikembalikan seperti sedia kala. Masak tanah-tanah nusantara jutaan hektare diserahkan ke cukong-cukong dan orang-orang asing, sedangkan bumi putera dibiarkan berkelahi mempertahankan tanah-tanah yang mereka warisi dari generasi ke generasi, jauh sebelum ada apa yang dinamakan Republik Indonesia ini. Kalau negara tidak melakukan hal itu terhadap bumiputera, pantaslah negara ini disebut sebagai negara durhaka dan hanya alat bersenang-senang saja bagi para durjana kaki tangan kolonialisme,” kata Konrad.

“Tapi apa mungkin, pemerintahannya yang kapitalistik begini, dapat diharapkan untuk memenuhi harapan Ayah itu?”

“Di situlah, Nak, diperlukan terlibat dalam politik memperjuangkan nasib rakyat. Rakyat yang terproletarisasi itu harus ada upaya deproletarisasi, sebagai usaha mengembalikan kehidupan mereka. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh pemerintah yang terpilih secara demokratis dan mencerminkan aspirasi rakyat. Pemerintah semacam itu harus membagikan tanah kepada setiap rakyat yang terproletarisasi, minimal masing-masing 3 hektare. Itu bisa dijadikan sebagai aset produktif atau kolateral untuk menunjang perbaikan nasib rakyat yang telah terproletarisasi.”

Sekali lagi, Ali Jaka terkesima. Tidak mengherankan Konrad fasih berbicara proletarisasi bumiputera, karena memang dia pernah meneliti soal subjek tersebut.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline