Lihat ke Halaman Asli

Syahrul Chelsky

TERVERIFIKASI

Roman Poetican

[Kasih Tak Sampai] Telepon Genggam dalam Sekotak Ingatan

Diperbarui: 5 Desember 2020   07:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pexels.com

Aku akan berangkat ke Australia besok untuk melanjutkan pendidikan tingkat magister di sana. Sedari pukul tujuh pagi aku sudah sibuk membereskan barang-barang yang akan kubawa, serta merapikan kamar yang akan kutinggalkan ini tentunya.

Ibu sempat memintaku untuk beristirahat saja, dan membiarkan dirinya sendiri yang merapikan kamar ini, tapi aku menolak permintaan tersebut. Anggap saja ini upacara perpisahanku dengan kamarku, jelasku kepada ibu.

Keadaan ini agaknya seperti upaya melepas daging dari tulang. Kamar ini sudah menjadi hunian ternyaman. Tidak ada yang lebih ramah dan rumah selain kamar milik sendiri. Belasan tahun aku menjadi pemiliknya, dan belasan tahun pula kamar ini menjadi pemeluk tidurku.

Aku melihat ke sekeliling kamarku, jika saja ia berbentuk sebuah tubuh, aku akan memeluknya dengan erat. Setiap sudutnya kuperhatikan sampai aku menyadari satu titik–yang selalu ada di bawahku saat tidur–yang nyaris tertimbun dan terlupakan, tepat di bawah tempat tidurku.

Aku ingat pernah menyimpan beberapa kotak berisi benda-benda milikku di sana. Dua kotak besar berisi buku-buku dongeng, buku pelajaran, boneka dan tas ransel. Serta satu kotak sepuluh senti persegi berisi ponsel keluaran lama yang sudah rusak.

Seketika aku terbawa nostalgia pada telepon genggam yang pernah kumiliki sewaktu masih SMA itu. Meskipun benda tersebut sudah tidak berfungsi, aku tetap menyimpannya. Alasannya tidak lain adalah karena kenangan mahal dan manis yang mungkin tidak akan bisa kudapat lagi meskipun dengan ponsel model terbaru.

Memegang benda itu seakan membawa nuansa serta perasaan itu kembali; debar saat aku mengangkat panggilan telepon darinya, rasa tak sabar ketika aku menunggu balasan pesan darinya, juga rasa khawatir sewaktu aku tidak mendapat kabar tentangnya. Aku mulai mengingat semuanya: cowok yang suka ikut ekstrakurikuler dan pandai kimia, lagu-lagu barat sembilan puluhan, dan mimpi-mimpi yang pernah kami ceritakan di antara dua buah ruang yang disatukan oleh ponsel ini.

Kalau aku deskripsikan sedikit, Arga–itulah namanya–adalah cowok yang tidak begitu rupawan. Ia cukup populer di sekolah bukan karena wajahnya, atau karena sifat cuek khas Rangga di film Ada Apa Dengan Cinta?, ia lebih dikenal karena sangat aktif dalam kegiatan organisasi serta kemahirannya dalam pelajaran kimia di sekolah.

Boleh dibilang, cewek sederhana sepertiku dulu masih cukup serasi jika disandingkan dengannya. Sedikit yang membedakan kami, ia masuk jurusan IPA karena ia memang layak, sesangkan aku masuk jurusan IPA karena dipaksa orangtua, di samping itu, nilaiku juga terbilang pas-pasan.

Kami memang memilih jurusan yang sama, namun kami berada di kelas yang berbeda. Aku dan Arga akrab karena kami sama-sama tergabung dalam OSIS. Arga adalah wakil ketua, dan aku bendahara. Dengan anggapan awal Arga adalah cowok pintar seperti kebanyakan–yang dalam bayanganku mereka sombong dan memiliki pergaulan tersendiri, aku merasa cukup malas untuk dekat atau memulai perbincangan dengannya.

Namun nyatanya persepsiku itu salah. Arga adalah orang yang ramah dan nyambung saat bicara. Di luar dugaanku, ia mengajakku berdialog sewaktu aku memutar lagu-lagu Westlife. Katanya, jarang-jarang sekali remaja seusia kami menyukai lagu-lagu lama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline