"Apa itu hidup?" dia bertanya di dalam kepalanya sambil mengunyah kuaci seribuan yang dibelinya di warung. Namun dia tidak menemukan jawaban apa pun. Pada pemilik warung dia juga bertanya hal yang serupa, "Apa itu hidup?"
Pemilik warung menggeleng, lalu menjulurkan tangannya, meminta uang seribu.
Dia kembali bertanya, "Apa itu hidup?" Mulutnya menganga, matanya memandangi pemiliki warung, tangannya memegang bungkusan kuaci seribuan. Pemilik warung menunjukkan sekeping uang logam seribuan di depan wajah tololnya.
"Hidup adalah uang," katanya dengan gerakan tangan yang seolah meminta dia untuk segera enyah.
Apa itu hidup? Mungkinkah dia pernah hidup?
Dia bukan seorang filsuf, tampangnya juga tidak menunjukkan bahwa dia ahli filsafat atau orang yang sedang belajar ilmu filsafat. Dia lebih mirip fisikawan gagal yang menciptakan suatu rumus untuk membuat jalan pintas demi mengakhiri keberadaannya sendiri, dan bahkan dia tidak bisa memecahkan hitungan sederhana dengan rumusnya itu.
Tapi dia sangat penasaran tentang apa itu hidup. Dia berjalan terus bersama sebungkus kuaci seribuan yang menyembul di antara saku bajunya yang lusuh itu.
"Apa itu hidup?" tanya dia pada sebuah pohon mangga di depan rumah orang. Tapi pohon mangga tidak mau menjawab. Dia hanya mendengar suara gonggongan anjing di balik pagar yang berusaha menggigit bokongnya. Lalu dia ludahi anjing itu dengan kulit kuacinya. Anjing itu tambah menyalak.
"Apa itu hidup?" tanya dia lagi pada anjing itu. Dia masukkan tangannya di sela-sela lubang pagar untuk menggosok-gosok bulu anjing itu. Tapi anjing itu malah menggigitnya. Lalu dia lari sambil menangis.
***
Jauh sudah dia berjalan sejak digigit anjing galak itu. Luka bekas gigitannya masih terlihat merah. Tapi kulit telapak kakinya tentulah masih cukup tebal. Kebal dari panas aspal. Orang-orang memandangi dia semacam melihat pada teroris yang membawa bom bunuh diri di tengah keramaian. Padahal dia cuma mau bertanya tentang hidup.