Lihat ke Halaman Asli

Syahrul Chelsky

TERVERIFIKASI

Roman Poetican

Puisi | Bukan Memilih Pemimpin, tapi Alasan Kenapa Saya Mencintaimu

Diperbarui: 20 April 2019   17:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Serialliterature

Di penghujung kampung saya malam ini ramai sekali, Ris. Tapi tidak dengan hati saya. Mereka bilang besok pesta rakyat. Tapi bagi saya ini cuma perayaan untuk membentuk para penyamun. Saya sudah khatam betul dengan janji-janji tentang kesejahteraan demi mengambil hati, kemudian ditinggalkan, dan akhirnya tak ditoleh lagi.

Saya membenci masa-masa sibuk dan penuh tipu daya ini. Tapi saya malah ditugaskan untuk menjaga kotak-kotak suara. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, katanya. Walaupun begitu, saya kira ini pekerjaan ini sangat layak untuk saya. Kebetulan saya ini mahir menunggu. Sejak kecil saya terbiasa menunggu ibu pulang dari pasar meskipun beliau tidak membelikan saya apa-apa. Tidak makanan, apalagi mainan. Saya cuma bahagia melihat ibu pulang baik-baik saja. Atau menunggu kamu di sisa-sisa umur yang mungkin tidak lama ini, Ris. Walau pun kamu tidak memedulikan saya. Dan walau pun itu berlangsung nyaris setiap hari.

Orang di sebelah saya sedang melindungi nyala pemantiknya dari angin yang menderu sampai ke pori-pori. Menghidupkan sebatang rokok. Kemudian menawari saya. Udara malam ini dingin sekali, Ris. Mungkin memang akan lebih hangat apabila saya ikut menikmati candu dalam setakar nikotin dan asap yang saya hembuskan hingga yang tersisa hanya ketiadaan.

Beliau memulai perbincangan dari hal-hal ringan dan bisa membuat saya tertawa. Hingga hal-hal bermuatan politik tentang pemimpin pilihan saya.

Saya benci pertanyaan semacam ini, Ris. Kamu pun tahu kalau saya ini orang yang paling keliru dalam memilih. Semisal kenapa saya bisa memilih kamu, atau kenapa saya bisa mencintai kamu. Saya tak pernah bisa menjawab pertanyaan siapa yang saya pilih atau alasan kenapa saya memilih.

"Karena kamulah orangnya." Alasan saya hanya itu. Bila kamu bertanya kenapa saya memilih kamu. Sederhana sekali bukan?
Tapi saya tak bisa memberikan alasan semacam itu ketika seseorang bertanya kenapa saya memilih salah satu dari dua orang pemimpin. Karena memang bukan mereka orangnya.

Lalu, beliau mulai mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih pribadi. Pengalaman hidup, harapan-harapan dengan pemimpin baru --yang seketika itu juga saya tertawakan-- dan tentang jiwa muda yang tersesat ditubuh orang tua.

Sebenarnya saya juga punya banyak harapan-harapan yang tak sampai. Semisal kegagalan saya menjadi manusia yang bisa kamu cintai setiap hari, semacam rutinitas, atau seperti bernafas. Karena kamu perlu saya untuk tetap hidup.

Juga kegagalan saya  untuk mengajak kamu mengelilingi bundaran di tengah kota yang jaraknya sekitar lima puluh kilometer dari sini. Hingga nantinya kamu akan bertanya, "Kenapa?"

"Karena bundaran tidak memiliki ujung. Seperti keinginan saya untuk hidup dengan kamu selamanya."

Kamu tahu, Ris? Jawaban semacam ini akan lebih mudah saya sampaikan, ketimbang pertanyaan kenapa saya memilih  seseorang untuk dijadikan pemimpin. Karena mereka memang bukan orangnya, dan saya memang mencintai kamu selamanya. Meskipun dua hal di atas tidak ada hubungannya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline