Lihat ke Halaman Asli

Syahrul Chelsky

TERVERIFIKASI

Roman Poetican

Novel | Air Mata Wanita Jalang [1]

Diperbarui: 22 April 2019   06:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Pixabay

Pada akhirnya, semuanya hanya akan kembali ke tempat di mana semua ini bermula. Sambil duduk termangu di atas batu tepian dermaga, aku mengingat kembali kata-kata ibuku. Ibu bilang, walau pun kita seorang perempuan, kita harus berpendirian teguh, kita harus tangguh, tidak boleh cengeng, tidak boleh terlalu bergantung, apalagi sampai menangis hanya karena seorang laki-laki. Tapi ibu, bolehkah aku menangis hari ini? Bukan karena laki-laki, tapi untuk ibu. Rasanya sudah lama sekali aku tidak menangis untuk ibu. Mungkin seminggu yang lalu. Tunggu, sepertinya itu tidak terlalu lama kan, Bu?

Tempat ini tidak banyak berubah. Masih sama seperti saat terakhir kali aku memandangnya tujuh tahun lalu. Batu pasir yang berjejal di samping jalan setapak menuju rumah kita pun masih sama. Partikel dan butiran mineralnya masih belum melapuk. Masih membentuk kesatuan yang keras. Sekeras keyakinanku kalau ibu akan menepati janji. Aku tahu ibu pasti akan kembali.  Tak masalah jika aku harus menunggu ibu lebih lama. Tentu, ibu yang ajarkan pendirian teguh ini kepadaku, bukan?

Namun hingga Juni menemuiku sebelas kali, dermaga ini tak kunjung membawa balasan surat botol yang pernah kutulis dan kulepas untuk menanyakan kabar dan keberadaan ibu. Kecewa seakan-akan menjadi bahasa kesunyian dari rindu yang ibu ajarkan padaku.

Aku selalu membisikan doa dan harapan yang sama saat meniup lilin ulang tahun yang berupa sebatang korek api beberapa waktu ke belakang. Aku harap ibu lekas pulang. Hanya itu. Aku dan Rani kesepian. Bi Iyah meninggal dua bulan lalu. Orang sebaik beliau pun tak bisa menahan laju waktu dan usia yang kian menua. Aku harap kabar baik selalu menyertai ibu, di mana pun sekarang berada.

***


Sebelas tahun lalu, cuaca sore di tepian Dermaga Gindra sedikit mendung. Rambut panjang ibu tergerai, tertiup angin dan melambai-lambai serupa selendang merah marun yang menutup liontin perak di lehernya. Angin cukup kencang berhembus ke arah kami berdua. Ibu memeluk erat tubuhku. Matanya sendu dan berkaca-kaca. Seluruh pantulan bayangan di dalam binarnya hanya ada aku. Cuma aku.

Aku tidak menyukai ekspresi ibu di saat-saat begini. Karena senyuman yang terukir dibibirnya akan menjelma warna indah pada sebuah lukisan yang perlahan memudar.

"Kamu satu-satunya yang ibu miliki. Kamu dunia ibu." Sentuhan tangannya yang masih kuingat hingga sekarang, yang barangkali selembut sutera di toko-toko kain ternama di pusat kota yang jauhnya puluhan kilo dari tempat tinggal kami. Dia memelukku hingga aku sedikit kesulitan bernafas dan bicara, sambil sesekali dia membelai rambut hitam kepiranganku yang sebahu.

"Tolong jangan kamu tanyakan tentang itu lagi." Pintanya, lirih.

Ingin sekali rasanya aku menimpal ucapannya yang selalu sama. Seolah-olah dunia menjadi perkara yang paling salah ketika aku bertanya perihal ayah. Selalu saja begitu. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Pelukan dan tatapan mata sayu itu adalah senjata pamungkasnya yang kerap kali berhasil menaklukkan keingintahuan di balik pertanyaan-pertanyaanku yang setengah polos.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline