(1)
Teruntuk kamu, F!
Aku ingin berhenti.
Dua bulan belakangan aku memiliki kecenderungan mencandui wajah kamu yang bulat itu, atau hidungmu yang agak besar dan tidak terlalu mancung. Sementara kamu sulit sekali diajak bekerjasama. Di saat saya memimpikan kamu hampir setiap malam, seharusnya kamu merindukanku hampir setiap hari. Sebagaimana isi buku Tafsir Mimpi yang pernah kubaca. Dalam kategori O, pada halaman 61, dengan subjudul 'Memimpikan Orang yang Sama.'
(2)
Aku terbiasa memikirkan kamu sebelum tidur. Mungkin itu sebabnya.
Tapi rutinitas absurd ini semakin mengganggu saat tiba-tiba bayanganmu berada di tempat yang tidak semestinya. Saat aku ingin makan, senyumanmu menjelma gelombang kecil pada semangkuk air kobokan. Aku jadi tak nafsu makan. Saat aku mau tidur, matamu seolah lahir dari cahaya redup lampu yang kubiarkan menyala di luar jendela. Tidurku tak nyenyak. Saat aku mengendarai motor dan pergi bekerja, nama panjangmu mendominasi rekmale di persimpangan jalan. Bahkan saat aku berada di kamar mandi, dalam seember air ada kamu lagi. Ini memang menyenangkan.
Tapi, ya Tuhan! Setolol inikah kasmaran!?
(3)
Dan saat kamu membaca ini, F!
Mungkin aku sedang sekarat karena dikeroyok kangen dan kesepian yang datang bersamaan. Menulis puisi dan merebut hatimu ialah dua hal berbeda yang sama sulitnya. Aku menikmati kedua prosesnya. Tapi usaha merebut hatimu hanya akan membuatku nampak semakin bodoh karena dipatahkan berkali-kali oleh manusia yang sama. Namun saya masih mencintaimu. Dan untuk itu, aku ingin berhenti hari ini.
(4)
Di tengah-tengah inferioritas dan hati yang batu, aku hendak memukul seorang berambut ikal yang pertama kali kulihat di cermin saat aku mencukur jenggot yang sedikit ini. Kuperhatikan wajahnya yang berminyak dan dipenuhi bekas jerawat itu. Sebenarnya dia tak lebih jelek dari bekas kekasihmu. Tapi dia terlanjur mematahkan dirinya yang sedang kasmaran, dan sempat berdebat dengan saya sekitar setengah jam.
(5)
Kalimat-kalimat ini jadi semakin tidak runut. Dan semakin menunjukkan sisi ganda dari aku (saya). Kepala yang ingin lekas berhenti dan hati yang ingin terus jatuh. Meski tanpa kupahami, 'satu tambah satu' tanpa kau beri 'samadengan', ia tak akan menjadi 'dua' dengan simbol yang utuh.