Aku bertemu denganmu saat kau tidak lagi sendirian. Aku bilang pada diriku bahwa aku tidak sedang sakit. Aku tidak sedang merasa kehilangan. Aku hanya sedang merenungkan sesuatu yang tak sempat kumiliki. Hujan dan sisa-sisa harapan saat kaududuk di jok belakang motor bututku.
Katakan ini tidak benar. Bahwa aku tidak perlu menunggumu berlama-lama. Bahwa aku tidak perlu menjadi tangisan anak kecil yang terasa wajar ketika benda kesayangannya diambil.
Perasaan ini sederhana sekali. Tapi tak ada yang bisa kujelaskan. Tenggorokanku seperti tersedak duri ikan sebesar kepalan tangan. Selalu terlambat satu kalimat untuk bisa memilikimu.
Aku bicara pada kipas angin yang hanya menggeleng sepanjang malam. Keinginan yang membuat tubuhku keanginan. Dingin. Menginginkan kabarmu seperti orang buta pada tongkat yang tidak bisa ia lihat untuk membantunya berjalan. Tidak ada yang mengerti. Langit-langit kamar, pintu yang berderit, jendela berdebu, knalpot motor yang menyamarkan suara tertawamu, bahkan awan yang kaubilang selalu mengikuti kita ke mana pun berjalan.
Aku cemburu pada selasar kampus yang bisa memandangmu dari Selasa sampai Sabtu. Atau buku sosiolinguistik setebal satu setengah senti yang biasa kaupeluk di sepanjang lorong. Menjadi benda-benda mati yang bisa menyentuh tanganmu, yang kaudekap, dan kaucari saat hilang. Aku ingin pandai bersembunyi agar merasa bahagia saat kautemukan. Tapi pada dasarnya; aku hanya sedang cemburu pada kekasihmu.
Besok akan kubawa motorku membelah kepadatan kota yang menyedihkan ini, untuk memilin bayangan wajah yang kautinggalkan di antara serakan awan -jika tidak sedang hujan. Seperti biasa, kau akan tersenyum dan aku masih tidak bisa memiliki keduanya; kau dan senyuman itu.
Lalu aku akan melakukan keahlianku: berpura-pura melupakanmu untuk berpura-pura sembuh dari rasa sakit. Tetapi tidak akan ada yang berubah. Kau masih berjalan menuju kelas, buku di lengan kirimu, dan orang lain berjalan di sebelah kananmu. Malah, aku benar-benar menjelma selasar yang hanya bisa memerhatikan langkahmu di bawah atap yang mulai rapuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H