Malam itu kau menangis lagi, sederas hujan, sekencang angin badai. Kau meneleponku dengan suara parau dan terisak. Sudah kuduga, laki-laki itu menyakiti hatimu lagi. Terhitung sudah empat kali, namun kau bersikukuh bahwa dia adalah masa depan yang kau yakini. Kau mencurahkan segala resahmu padaku hingga pukul satu. Aku mendengarkanmu meski kantuk sulit tertahan di ujung mataku.
Kau mau bicara banyak padaku hanya di saat kau sedang jatuh dan terluka. Aku tak mengeluh. Meski di hari-hari lain kita seakan berperan sebagai orang asing. Malam itu kau tak menyudahi obrolan kita hingga kau tertidur pukul setengah dua. Aku pun enggan menyudahinya. Aku selalu ingin mendengar desah nafasmu ketika tertidur lelap. Aku menyukainya meski yang kumiliki darimu hanyalah suara. Aku berharap agar kau merasa lebih baik di keesokan harinya.
Di malam berikutnya aku menyapamu lewat sosial media. Sekadar menanyakan apakah harimu baik-baik saja. Jawabmu singkat. Tak seantusias saat kau meneleponku dengan luka. Namun aku memakluminya, mungkin karena kau masih dalam perasaan kecewa. Aku tak berani banyak bertanya padamu. Takutnya kau akan tersinggung dan berpaling membenciku. Aku beranikan diri untuk menawarkan sandaran jika hatimu tengah kelelahan. Kau menyambutnya dengan emoji tawa. Kubilang bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Aku senang jika aku adalah salah satu orang yang kau percaya untuk bercerita. Meski hanya sebatas itu dan kau tak pernah mau mencoba membuka hati untukku. Semenjak malam itu, ada semburat gelisah yang menyusup di bagian hati paling dalam. Ada riak-riak rindu yang beriringan dengan keputusan untuk menjagamu agar tak kembali jatuh percaya dengan laki-laki itu. Aku ingin melindungimu.
Beberapa bulan berjalan, semakin kupendam rasa itu di dasar hati. Tak jarang aku menahan emosi yang meluap-luap ketika kau bilang rindu untuknya datang tanpa permisi. Bahwa rasa itu masih menggelora dan belum mati. Aku menggerutu di dalam hati. Bagaimana bisa aku menaruh simpati pada perempuan keras kepala dan sebodoh ini. Sampai sejauh ini kita berbagi, dan kau masih belum mengerti bahwa bukan cinta namanya jika salah satu tersakiti. Namun dengan kokohnya kau menyimpannya bersama air mata yang kau tumpahkan di pipi, sementara di luar sana mungkin dia sedang bermain api dengan temanmu sendiri.
Pada senja yang berwarna jingga itu, kubulatkan tekad untuk mengikatmu. Menjadi lelaki yang akan mencairkan kebekuan di dalam hatimu. Dengan kesungguhan yang kuselipkan di setiap perhatian, aku ingin kau balas mencintaiku meskipun aku tahu jika cintamu masih belum sedalam itu. Kau bilang kau masih perlu waktu. Aku tak tahu butuh berapa lama agar kau bisa lebih mengenal aku. Dalam keraguanmu di hari itu, aku meyakinkanmu untuk memilihku. Kupastikan kau tak akan menyesal jika bersamaku. Namun dengan keras kepalanya kau tetap meminta waktu. Jangka seminggu yang kuberikan kau iyakan. Selama itu pula kita tak lagi berhubungan.
Sepekan menunggumu memberi jawaban membuat aku tak keruan siang malam. Dan bodohnya aku karena tidak mempersiapkan hati untuk menerima sebuah penolakan. Hanya terima kasih yang kau ucapkan dalam samar suara di malam hari yang hujan. Tanpa rasa malu aku memintamu untuk berpikir ulang. Namun katamu, kau sudah tak lagi sendirian. Kau kini telah berpasangan.
Entah sejak kapan. Kau mencoba membuatku tegar dengan mengucapkan sepenggal kalimat yang sebenarnya hanya ingin kudengar, namun tak pernah ingin kau umbar. Kau bilang bahwa kau juga punya rasa yang sama. Aku tersenyum ringan, bahkan hujan pun tahu jika kau sedang berdusta.
Aku ingin tahu siapa lelaki yang kali ini mendahului aku. Tanpa menyebutkan siapa dia, kau meminta maaf kepadaku. Ah, aku tahu. Rupanya laki-laki itu. Kau benar-benar bodoh dan keras kepala dengan memutuskan untuk kembali ke pelukan bajingan itu. Suasana di antara kita hening seketika, dan hujan jadi lebih lebat turun ketimbang sebelumnya. Beberapa saat setelah hujan reda aku memutuskan untuk pulang, membawa hati yang hancur berserakan. Aku berpapasan dengan lelaki itu di jalan. Lelaki bajingan yang berkali-kali melukai hatimu. Lelaki yang juga saat ini menjadi kekasihmu lagi. Aku menatapnya dengan benci.
Aku masih belum percaya kau menolakku dan lebih memilih untuk kembali bersama orang itu. Aku tulus mencintaimu. Apa artinya selama berbulan-bulan aku menjadi sandaran? Aku terlalu sibuk berjuang sebagai penenang, tanpa kutahu kau sudah menobatkan dirinya lagi sebagai pemenang.
Tiba-tiba aku terbangun dari mimpi buruk. Aku pergi ke teras dan merasakan udara yang di malam hari itu terasa sangat dingin dan mencekam. Sudah pukul dua pagi. Kurasa aku tak akan bisa tidur lagi. Mimpi buruk itu terasa sangat nyata dan menghantui.