Lihat ke Halaman Asli

Syahrul Chelsky

TERVERIFIKASI

Roman Poetican

Cermin | Hampir Tiga Bulan Setelah Senyuman Wulan

Diperbarui: 15 Februari 2019   19:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kutata ulang lagi kepingan hati yang sempat kamu pijaki. Wulan, pernah aku berpikir jika tanpa melihatmu kelak semuanya akan kembali baik-baik saja, lebih lagi aku sudah menyerahkan semuanya pada Tuhan. Aku yakinkan lagi kepalaku yang keras ini bahwa entah di manapun kamu berada sekarang, doaku telah menyertaimu di sepanjang jalan. Kupalingkan hati sejenak darimu lewat tulisan-tulisan yang membeku dalam folder komputerku. Entah kenapa rasanya kata-kata ini menjadi semakin dingin.

'Melupakanmu, aku bisa!' kucamkan berulangkali kalimat itu di kepalaku. Namun seringkali ketika aku mencoba untuk menguburmu lebih dalam, aku kian merasa tertimbun oleh bagian terpenting dari sebuah impian. Aku masih mengingatmu dengan lancangnya, Wulan. Tiap pagi aku berangkat bekerja, di setiap langkahku terselip harapan  bahwa hari ini kamu akan ke tempat kerjaku, tak usah repot-repot membeli sesuatu, cukup temui aku dan tersenyum seperti saat terakhir kali kita bertemu.

Hampir tiga bulan sudah berlalu, namun di tempat ini aroma cokelat dari parfummu masih memenuhi ruangan dan menjelma di hidungku sebagai kenangan, seolah mengajakku menutup paksa hari yang baru dan cukup dengan menetap pada hari-hari sewaktu kamu membeli sebotol mineral dan sebungkus roti di tempat ini. Hidupku jadi sebatas menikmati kehadiranmu yang semu. Hingga aku terkurung kenangan di tempat kerjaku sendiri.

Semuanya tak baik-baik saja, Wulan. Aku berbohong pada hatiku sendiri bahwa kamu sudah berhenti kucari. Mataku menatap nanar pada tiap pembeli perempuan yang datang ke sini, pikirku aku akan melihatmu lagi barang sekali. Entah bagaimana bisa sedalam ini perasaanku padamu. Kata mereka cinta memang buta, namun bagiku perbandingan tempat kerja kita adalah tembok sosial yang nyata dan bisa meruntuhkan sebuah rasa. Bukan rasaku, melainkan rasamu-jika memang benar ada.

Wulan, apa kamu-yang kini entah di mana-ingat padaku? Seorang pramuniaga minimarket yang selalu membukakan pintu untukmu, yang memerhatikanmu dari bening kaca etalase, yang menjadi pecandu aroma cokelat dari parfummu, yang menjadi penggemar berat senyumanmu sejak bulan November  lalu. Aku mencintaimu dalam perasaan tidak pantas. Mungkin itulah alasan mengapa Tuhan memberi kita jarak sebagai peringatan jika rasa ini harusnya kuberi batas.

'Melupakanmu, aku bisa!' kuulangi lagi kalimat itu dalam hati. Namun sekali lagi, ternyata aku masih menjadi sesosok yang terlalu rapuh ketika mengingatmu. Aku belum sekuat itu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline