Lihat ke Halaman Asli

Syahrul Chelsky

TERVERIFIKASI

Roman Poetican

Cerpen | Wanita Hujan

Diperbarui: 19 Februari 2019   18:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan mengguyur kota Martapura dengan lebatnya selepas senja, sekarang sudah pukul sebelas lewat lima malam dan aku masih terjebak kenangan lewat derai hujan di teras sebuah ruko sejak adzan Isya berkumandang. Parahnya aku lupa membawa jas hujan merah muda kesayanganku. Sudah beberapa jam berlalu, hujan belum menunjukkan gejala bahwa ia akan mereda, beberapa orang yang terjebak di teras ruko bersamaku memutuskan untuk beranjak pergi sembari merelakan tubuh dipagut dingin rinainya, sementara sisanya memutuskan untuk menahan kaki dengan harap agar hujan segera reda.

Di seberang jalan aku melihat seluit seorang wanita sedang memayungi kepalanya dengan tangan seraya berteduh di bawah pohon cemara.

"Kenapa tak ikut berteduh di sini saja?", benakku berkata.

Setengah jam berlalu namun wanita itu masih berdiri di sana. Sinar redup lampu di pinggir jalan seolah kekalkan hampa keberadaannya. Ia nampak kebasahan juga sedikit menggigil kedinginan, namun kakinya tak beranjak meski hanya satu senti. Beberapa saat kemudian terlihat seorang lelaki menghampirinya, seolah sedang berbicara dengannya, namun wanita itu nampak kelu. Jangankan balas berkata, menoleh pun ia tak mau. Suasana di antara mereka mengingatkan aku pada dingin hati kita sewaktu bertengkar dahulu. Masih ingatkah kamu sewaktu aku cemburu hanya karena hal-hal sepele waktu itu? Aku memang bodoh karena tak jarang aku meragukanmu dan lebih memprioritaskan egoku. Namun kamu juga tak pernah mau mengerti, terkadang bahagia memilikimu bisa membuatku menjadi orang paling posesif di muka bumi.

Beberapa saat mereka berdua membeku, lelaki itu mulai memalingkan wajahnya ke arah ruko tempat kami berteduh sembari melepas jaketnya dan meletakkannya di pundak sang wanita. Lelaki itu berlari santai ke arah kami, menembus hujan di tengah malam, meninggalkan wanita yang entah siapa-nya dia di tepi jalan. "Egois!" ujarku dari dalam.

Setibanya dia di tempat kami berada, gurat juga kerut di wajahnya kupandangi dengan saksama. Usia lelaki itu sekitar kepala lima.

"Hujannya lebat dan lama, ya," ia menyapaku tanpa terduga. Kupalingkan kepala untuk sekedar memastikan dengan siapa ia berbicara.

"Iya Pak, kami di sini sudah terjebak hujan selama beberapa jam," jawabku dengan senyum masam. Ia berlalu di depanku sembari melekukkan tangannya ke dada, memeluk dirinya sendiri dengan erat dan kemudian masuk ke arah kerumunan di antara lima orang.

Sementara wanita di seberang jalan itu masih berdiri sepi dalam keheningan. Di benakku masih tersimpan setumpuk tanya tentang siapa dia dan apa yang dia lakukan di tepi jalan pada pertengahan malam yang hujan.

"Dik, asalnya dari mana?" suara seorang laki-laki terdengar sedikit samar di telingaku, melepas penuh pandanganku pada wanita hujan itu. Seketika aku menolehkan muka dan kulihat lelaki itu kembali mengajakku membuka kata.

"Oh, saya dari Pati, Pak," balasku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline