Oleh Syahroni Nur Wachid
Malam itu, angin semilir membawa harum bunga melati yang tumbuh di pekarangan rumah kecil kami. Langit tampak penuh bintang, seolah mengingatkan bahwa di atas gelapnya kehidupan, selalu ada titik-titik cahaya yang mampu memberikan harapan. Aku duduk di beranda, merenungi perjalanan hidup yang tidak pernah mudah, namun selalu penuh berkah.
"Abi," panggil istriku, Aisyah, sambil membawakan secangkir teh hangat. Ia duduk di sampingku, wajahnya teduh, seakan menyimpan kedamaian dunia.
"Ummi," jawabku sambil menerima cangkir itu, "Tahukah kau, aku selalu bersyukur telah menikahimu?"
Aisyah tersenyum. "Abi selalu berkata begitu. Tapi, aku justru yang merasa beruntung memiliki suami seperti Abi."
Aku memandangi cangkir teh itu sejenak, uapnya naik perlahan, menghangatkan malam yang dingin. "Aku hanya berusaha menjadi laki-laki yang benar, Ummi. Seorang suami dan ayah yang tak hanya mencintai keluarganya, tetapi juga takut akan siksa Allah."
Aisyah menatapku penuh perhatian. Ia tahu apa yang aku maksud. Dalam perjalanan kami sebagai keluarga kecil, godaan duniawi selalu datang silih berganti, memaksa kami memilih antara kemudahan atau kejujuran, antara harta yang syubhat atau keberkahan.
"Ada saatnya, Ummi, aku bisa saja mengambil jalan pintas. Kau tahu, pekerjaan yang menawarkan keuntungan besar sering kali datang tanpa diminta. Tapi, aku lebih memilih puasa daripada mengisi perut kita dengan sesuatu yang syubhat, apalagi haram," ucapku pelan, namun penuh keyakinan.
"Abi, aku tahu perjuanganmu. Aku tahu ada banyak hal yang bisa Abi ambil, tapi kau selalu memilih jalan yang halal," jawab Aisyah sambil menggenggam tanganku. "Dan aku bangga dengan pilihanmu itu."
Menghindari yang Syubhat