Lihat ke Halaman Asli

Syahriza Azizan Sayid

Manusia merdeka yang sedang mencari keridhoan-Nya

Jihad Santri Jayakan Negeri: Sejarah, Relevansi pada Tahun Politik dan Paradigma Santri Menempatkan Diri

Diperbarui: 23 Oktober 2023   11:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: doc pribadi penulis

Dalam masyarakat, Santri sering dimaknai sebagai seseorang yang mondok di suatu pesantren. Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknai seseorang yang mendalami agama Islam dengan sungguh-sungguh. Ketika kata “santri” dimaknai sebagai seorang murid yang belajar agama dan menetap di asrama pesantren, maka makna ini hanya akan membuat pengertian santri terkungkung pada sutu pusaran pesantren itu saja. Uniknya justru beberapa Kiai-Kiai masyhur malah memaknai santri  bukan hanya yang tinggal di pesantren saja, melainkan mereka yang ber-akhlakul karimah seperti santri juga layak untuk disebut dengan santri (kata-kata dari Beliau Gus Mus, KH Musthofa Bisri, salah satu Ulama yang terkenal dengan karya sastranya dan juga pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang). Pernyataan beliau didukung dengan pendapat dari Rais Syuriyah PCNU Kota Pekalongan KH Zaenuri Zainal Mustofa mengatakan, yang disebut santri selain dirinya pernah menimba ilmu di pesantren atau mondok di pesantren, juga meskipun tidak pernah mondok akan tetapi mengamalkan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari bisa juga disebut santri. Sehingga dari pendapat Kyai Zaeunuri tersebut, makna akhlakul karimah yang dimaksud oleh Gus Mus dapat kita pahami sebagai usaha melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangan-Nya pada setiap sendi kehidupan sehari-hari. Sangat banyak paradigma pemaknaan santri sehingga penulis mengambil makna dari beberapa Kiai masyhur di atas.

Awal mula penyebutan ‘santri’ ini juga memiliki perjalanan yang unik. Santri dalam buku Diplomasi Santri karya Arifi Saiman, dikatakan sebagai kaum sarungan; merujuk kepada individu yang menjalani kehidupan agamis tradisional dengan aktivitas sehari-hari yang berpusat di sekitar musala, masjid, pesantren, dan kitab kuning. Kata Santri ini unik karena meskipun identik dengan kehidupan agamis, menurut C.C Berg kata tersebut bukan berasal dari bahasa Arab tetapi bahasa Sansekerta “shastri”  berarti individu yang memperdalam ajaran suci agama Hindu. 

Penjelasan ini berlandaskan sejarah di mana bahasa Sanskerta digunakan oleh masyarakat Nusantara pada masa pemerintahan Hindu dan Buddha sebelum Islam diperkenalkan. Secara evolusi, istilah "shastri" kemudian diserap ke dalam bahasa dan budaya pesantren sebagai kata "santri." Sedangkan menurut Nurcholish Madjid dalam bukunya yang berjudul "Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan" tahun 1999, menjelaskan bahwa kata "santri" memiliki asal-usul dalam bahasa Jawa, berasal dari kata "cantrik," yang berarti "orang atau murid yang selalu belajar dari gurunya”. Karena pada kehidupan pesantren, seorang santri identik dengan seseorang yang menaati apapun perkataan gurunya, Kiai, karena mereka mengharap keberkahan dari gurunya.

Santri memiliki sejarah yang luar biasa di bangsa Indonesia ini. Dahulu santri bukan hanya mempelajari keilmuan agama saja, namun juga belajar kanuragan untuk berjuang melawan penjajah. Hal tersebut tercermin pada banyaknya pendekar atau bahkan sesepuh Pencak Silat yang juga seorang santri, seperti Ki Ngabehi Soero Dwiryo atau yang lebih kita kenal sebagai Eyang Suro yang merupakan pendiri Pencak Silat aliran Setia Hati, dahulu juga pernah nyantri di Pesantren Tebu Ireng Jombang pada usia 15 Tahun. 

Selain itu di kalangan Nahdlatul Ulama, juga KH Manaf Abdul Karim yang merupakan seorang tokoh ulama mashyur Lirboyo Kediri yang mendirikan pencak silat GASMI (Gerakan Aksi Silat Muslim Indonesia), yang kemudian di populerkan oleh KH Abdulloh Maksum Jauhari atau Gus Maksum yang juga merupakan pemerkasa berdirinya Pencak Silat Nahdlatul Ulama Pagar Nusa. Beliau semua merupakan santri yang luar biasa karena dari pencak silat yang beliau dirikan melahirkan para pendekar yang juga pahlawan dalam memerangi penjajah dan kini melahirkan para atlit luar biasa dalam mengharumkan nama bangsa di kancah olah raga pencak silat.

Dalam perjuangan kemerdekaan, santri juga memiliki andil besar di dalamnya. Banyak pesantren yang getol memerangi penjajah pada waktu itu. Salah satu contohnya yang pernah penulis dengar waktu ngaji di pesantren penulis dulu, Pesantren Darul Ulum Jombang, ada Gus Ishomuddin Romly (Putra KH Romly Tamim; Kiai Mashyur dengan karyanya yang harum hingga kini yakni Istighotsah) yang dengan beraninya melempar kepala seorang penjajah yang datang ke pesantren Rejoso (desa tempat berdirinya Pesantren Darul Ulum) dengan bakiak (sendal yang terbuat dari kayu), naasnya beliau harus meregang nyawa ditembak oleh penjajah waktu wudhlu di tempat wudhlu masjid induk pesantren Darul Ulum.

Salah satu kisah yang terkenal dan kini diabadikan kisahnya sebagai Hari Santri Nasional 22 Oktober adalah gerakan Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Hadratus Sayikh KH Hasyim Asy’ari. Jauh sebelum itu, Kyai Hasyim yang merupakan Ketua Jawatan Agama (Shumubu) memiliki taktik begitu luar biasa untuk melatih para pemuda yang tidak lain adalah para santri. Beliau menjalin kesepakatan diplomatik dengan Nippon dengan syarat para pemuda dilatih sendiri dan tidak tergabung dengan barisan Jepang.

 Inilah awal terbentuknya Tentara Hizbullah. Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari memiliki keahlian dalam perencanaan strategi perang. Meskipun beberapa orang mungkin melihat keputusan Kiai Hasyim sebagai tindakan tunduk kepada Jepang karena mengizinkan pelatihan militer bagi para santri oleh Jepang, sebenarnya di balik tindakan tersebut, guru para kiai di Jawa ini berusaha untuk mempersiapkan pemuda secara militer sebagai upaya untuk menghadapi penjajah di masa depan.

Benar saja apa yang dipikirkan oleh Beliau, Jepang mengaku kalah pada sekutu. Namun Belanda datang kembali untuk menduduki Indonesia yang ke 2 kalinya. Pada saat itulah para santri melalui laskar Hizbullah sudah siap karena telah digembleng ’gratis’ oleh Jepang. Beliau memfatwakan untuk berjihad dengan Resolusi Jihad ‘Hubbul Wathan Minal Iman’, pada 22 Oktober 1945.

 Puncaknya adalah di Surabaya pada 10 November 1945 yang saat ini diresmikan menjadi Hari Pahlawan Nasional. Beberapa sumber mengatakan bahwa sebelum berperang, Bung Tomo sowan kepada Kiai Hasyim. Dari sowan tersebut Kai Hasyim memberikan saran kepada Bung Tomo untuk menyelipkan kalimat takbir sebelum pidatonya guna menggelorakan semangat para pejuang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline