"Hai biru. Jingga kelabu, serta awan yang bergemuruh riuh. Kepada malam yang menenggelamkan senja. Pada langit yang menatap hampa....."
Demikianlah salah satu ciutan yang terdengar dari yang katanya pengagum senja. Semua orang setuju senja itu indah, dan karena keindahan itu senja kerap kali jadi momen romantisme semua kalangan dan usia. Tak salah memang jika senja menjadi tempat favorit sekaligus menjadi inspirasi untuk mereka yang menamakan dirinya pujangga. Senja memang indah, tak salah. Bahkan banyak yang berjuang mati -- matian hanya untuk mendapatkan gambaran terbaik tentang senja. - termasuk mendaki gunuuung, melewati lembaah~ - . Dan karena itu setiap sore para "pujangga senja" akan selalu ada dan hadir di sosial media kita seperti instastory, snap wa dan sebangsanya. Bahkan para jomblo pun gegara senja,(mungkin mengaktifkan fungsi fiksi mereka) seoalah menjad unjomblo. Dan ini bisa kita lihat dari pernyataan --pernyataan mereka tentang senjaa.
Tapi untungnya tuhan menciptakan dunia ini secara seimbang. Pro senja akan diimbangi oleh kontra senja. Dan saya belakangan ini berubah menjadi kontra senja. Sebagai bentuk perlawanan mengatasnamakan senja -jihad senja- akan selalu membalas mereka -- mereka yang berkomentar setiap hari di sosial media tentang senja dengan kata, "bicit!".(maaf teman-teman jangan tersinggung).
Dengan tiba -- tiba seolah senja memberikan kekuatan pada mereka yang melihatnya dan seketika lahirlah peramu -- peramu kata akan senja. Yang katanya pembenci senjalah, pecintalah itulah inilah semua merangkai kata. Dan kuantitasnya(dalam artian banyaknya caption-caption tentang senja), menjadikan kita sebagai pembaca sekaligus penikmat senja merasa klise terhadap senja. Dalam artian, karena banyaknya manusia yang memberi defenisi, retorika dan lain sebagainya menjadikan senja dan cerita berupa caption -- caption tentang senja(secara tak langsung mempengaruhi persepsi orang lain tentang senja) mengalami reduksi dan menjadikannya klise(klise menurut Wikipedia adalah ekspresi, ide atau elemen karya seni yang terlalu sering digunakan sehingga makna atau efek aslinya memudar, bahkan sampai terdengar menyebalkan, apalagi ketika elemen tersebut awalnya dianggap bermakna atau baru).
Sama hal seperti apa yang saya alami daholoe. Saya membaca buku pertama fiersa besari yang berjudul : GARIS WAKTU yang saya pinjem dari seorang teman. Entah mengapa yang saya rasakan adalah gejala yang sama dengan perihal senja. Klise. Dan karna itu saya mengembalikan bukunya lebih awal. Tapi teman saya heran dan bertanya. " Kok cepat banget balikinnya ?", lalu saya jawab. " Engga bagus, bosen". "Kamus sih g tau sastra", balasnya dengan nada sarkastik. Saya hanya bisa terdiam dan berfikir sejenak siapa yang salah dalam diskusi ini,T*EK!1(dalam hati) .
Kembali ke senja. Memang tiada salah nya para fakir kebahagiaan, Jombloan, om-om dan kakak-kakak sekalian melukiskan senja, tapi setidaknya kurangi publikasi massif beratas namakan senja dan romantismenya, meski sulit. Karna sejatinya (mungkin) senja tak butuh kita lukiskan dengan berbagai kata -- kata dan retorika-(dan juga senja tak butuh di bela, sebenarnya). Tapi cukup nikmati tatap dengan kepala dan matamu sendiri dan kalo bisa sambil minum teh anget dan roti. Tentunya di sore hari, bersama senja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H