Lihat ke Halaman Asli

Berkeliling Mengais Rejeki

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="attachment_86946" align="alignleft" width="190" caption="ilustrasi pedagang keliling"][/caption] Sepeda tua itu berdiri tepat disamping rumahnya. Tempat duduknya sudah tak berbusa lagi, pelaknya sudah berwarna emas, stangnya seperti gaya anak muda jaman  sekarang kelihatan seperti di press. Padahal stang sepedanya itu bengkok karena keseringan jatuh. Di tambah desain dua keranjang ikan yang selalu tersangkut di belakang sepedanya,  Dengan sepeda itulah Abdullah Idris berjualan ikan keliling, dari satu kampong ke kampong yang lain. Abdullah yang akrab disapa Cek Lah  itu mulai berangkat usai shalat Subuh, azan subuh yang membangunkannya itu pertanda aktvitasnya harus segera dimulai. Bagaimana tidak Cek Lah Warga Desa Rukoh, Banda Aceh itu harus menuju ke Tempat Penjualan Ikan (TPI) Lampulo. Guna membeli ikan sebagai modal awal. Jarang sekitar delapan KM pun harus ditempuhnya setiap hari. Pria 65 tahun ini terus mengayuh sepedanya, peluh keringat berjatuhan pun tidak dihiraunya. Setelah usai transaksi dengan toke ikan di TPI Lampulo, Cek Lah pun mulai memasukkan ikan ke dalam keranjang yang selalu siap di belakang sepedanya. “Modal awal tiap hari 500 sampai 600 ribu rupiah, terkadang dapat laba dan terkadang juga rugi, kita jualan tidak menentu, ” jelasnya dalam bahasa Aceh. Dari TPI Lampulo menuju arah Darussalam dan mulailah Cek Lah berjualan. Keliling kampung demi kampung disekitaran kota Banda Aceh. Kawasan yang menjadi langganan Cek Lah adalah di sekitaran Kampung Mulia dan daerah lain yang searah dengan jalan pulang menuju Darussalam. Azan zuhur, Cek Lah menghentikan jualannya. Cek Lah mengatakan dengan modal yang menurutnya cukup besar itu, terkadang bisa meraut keuntungan  50 sampai 60 ribu rupiah per hari. “Terkadang cuma balek modal saja, terkadang rugi semua, kalau musim hujan susah jualan,” tegas Cek Lah sambil tersenyum. Langit mulai mendung, kala itu ban sepedanya bocor, ikan belum terjual, Hanya tiga lembar uang ribuan yang ada di kantongnya. Sepeda harus didorong belum lagi tubuhnya dibasahi air hujan. Tepatnya tiga hari yang lalu. Ikan yang dijual selalu bervariasi, setiap hari Cek Lah berjualan ikan yang berbeda jenis. “Ada ikan Tongkol, Teri, Udang, dan anak ikan lainnya,” Ungkap Cek Lah ketika sedang membersihkan keranjang ikannya. Rambutnya sudah hampir putih semuanya menandakan usianya yang semakin tua, akan tetapi menjual ikan ini harus tetap terus ia lakoni untuk meneruskan hidupnya. Namun, usaha yang diembaninya ini tidak selalu berjalan mulus, terkadang ikan yang mahal membuat Cek Lah harus berhutang agar tetap bisa berjualan. “Selama ini belum pernah tidak berjualan kecuali saket, akan tetapi kalau ikan mahal saya harus berhutang dulu,” jelasnya. Selembar dua lembar uang seribu dicicil kepada toke, terkadang modal awal belum cukup tapi terpaksa harus menutupi utangnya. Pria tua itu tidak mau hutangnya bertumpuk. Jika ada uang maka langsung dibayarnya. Walaupun tidak bisa membayar sepenuhnya tapi Ia harus menyicilnya perlahan-lahan meskipun anak istri cuma bisa makan lauk seadanya di rumah. Gayanya yang sederhana, rokok di tangan kiri, kedua kaki di atas kursi yang sedang didukinya siang itu, serta pandangan mata lurus ke depan entah apa yang dipikirkannya. Meskipun ia kalah dengan trend sekarang ini. Hampir semua penjual ikan keliling sekarang sudah tidak menggunakan sepeda. Karena ada kenderaan bermotor, atau sering kita sebut dengan sepeda motor. Tapi pria yang mempunyai sembilan orang anak itu masih tetap melakukannya tanpa rasa malu. Keterbatasan biaya dan usia yang semakin itu tidak memungkinkan menggunakan alat yang cangkih dan membutuhkan biaya yang mahal. Cek Lah mengakui selama ini belum pernah menerima bantuan dalam bentuk apapun. Baik itu berupa modal uang ataupun berupa bantuan sepeda yang sempat rusak berat bahkan hampir tidak bisa digunakan lagi karena Tsunami pada akhir 2004 lalu. Pada masa itu Cek Lah sempat berhenti berjualan beberapa bulan. (sy)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline